Pantikismo Pupuskan Harapan Korban Penggusuran Magersari
Pupus sudah harapan Mbah Manto dan empat Kepala Keluarga (KK) agar pihak Keraton mengizinkan mereka kembali tinggal di Magersari. Pasalnya, setelah Komisi A DPRD bertemu dengan pihak Keraton, Biro Hukum Setda Jogjakarta, dan perwakilan Kantor Pertanahan, keputusannya tetap sama : Mbah Manto dkk tidak berhak meninggali tanah Magersari.
Dalam pertemuan yang tidak melibatkan korban penggusuran tersebut, diketahui bahwa tanah Magersari sejak tahun 1934 merupakan tanah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh sebab itu, pihak Keraton hanya didesak untuk memberikan semacam talih asih pada korban.
“Sejatinya tanah Magersari adalah sebutan bagi tanah yang sudah keluar kekancingan atau hak pakainya. Kalau tidak punya kekancingan ya bukan magersari,” ujar Gusti Hadi, selaku pantikismo Keraton Selasa (5/2).
Adik Sri Sultan Hamengkubuwono X itu memaparkan bahwa pihaknya memberikan kekancingan pada Cahyo Antono setelah melakukan investigasi.Dari tinjauannya, tidak seorang pun dari lima KK yang memiliki kekancingan. Oleh sebab itu pihaknya setuju memberikan kekancingan pada Cahyo dengan syarat tidak mendirikan bangunan di atas tanah dan memberikan tali asih kepada korban penggusuran.
Melapor Komnas HAM
Merasa tidak didengar lagi oleh Keraton, lima KK korban penggusuran melaporkan kasus ini ke Komnas HAM. Dilansir Harjo, Rabu (6/2) kemarin mereka berangkat menuju Jakarta menggunakan Kereta Ekonomi dari Stasiun Lempuyangan sekitar pukul 18.00 WIB ditemani Aliansi Masyarakat Peduli Permasalahan Pertanahan.
Eddy Sukarna, salah seorang KK menjelaskan bahwa selain karena tidak didengar Keraton, pelaporan ini merupakan jalan terakhir bagi mereka. Selain itu, adanya ratusan warga di Magersari yang rentan tergusur semakin membikinnya yakin harus ke Jakarta.
‘Kami sadar persoalan ini arahnya ke Keraton. Namun karena sudah menjadi bagian isu kemanusiaan, kami tetap berangkat ke Komnas HAM,”ungkapnya.
Terkait masalah tali asih, Eddy menolak kasus ini diselesaikan dengan cara demikian. Sebab, dirinya dan semua warga telah terikat dengan memori kolektif puluhan tahun yang tidak akan bisa diganti dengan sekedar tali asih. “Jangan hanya berhenti pada tali asih. Tapi pengakuan kepada kami yang mendapatkan hak sewa dari Keraton karena sudah tinggal lebih lama,” ujarnya.