Sarkem : Hasil Politik Ekonomi Belanda
Siapa yang tak kenal dengan nama Pasar Kembang atau biasa disebut dengan nama Sarkem? Sarkem adalah nama sebuah jalan di sebelah selatan Stasiun Tugu Jogja. Jalan ini dikenal sebagai tempat prostitusi di Jogja.
Sarkem sebagai sebuah tempat prostitusi ternyata sudah berusia ratusan tahun. Sebelum bernama Sarkem, jalan ini dikenal dengan Balokan. Nama Balokan pertama kali diperkenalkan semasa zaman penjajahan Belanda. Nama Balokan bermula dari adanya tempat penimbunan kayu-kayu jati atau ‘balok-balok’ di sebelah Utara Kampung Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon.
Usia Sarkem atau Balokan boleh dibilang seusia dengan Stasiun Tugu Jogja yang mulai dioperasikan sejak 2 Mei 1887. Dahulu Sarkem memang dikonsep oleh Belanda sebagai tempat “jajan” para pekerja yang membangun Stasiun Tugu Jogja dan proyek pembangunan rel yang menghubungkan Jogja dengan kota-kota lainnya. Pemerintah Belanda sengaja memfungsikan sarkem sebagai tempat prostitusi. Mereka berharap para pekerja menghabiskan uang gajinya agar kembali menjadi pemasukan Pemerintah Belanda.
Setelah pembangunan Stasiun Tugu rampung, banyak penginapan yang dibangun di sekitar stasiun. Berkembangnya bisnis penginapan ini makin membuat bisnis prostitusi di daerah Sarkem besar. Sebagian pemilik usaha penginapan menganggap perlu adanya “pelayanan khusus” bagi para tamu yang menginap. Hal ini makin mengukuhkan predikat Sarkem sebagai kawasan prostitusi di Jogja.
Ketika Jepang mulai berkuasa, Balokan tidak lagi difungsikan sebagai tempat penimbunan kayu jati. Kegiatan prostitusi diubah hanya untuk tentara Jepang. Setelah Jepang minggat dari Jogjakarta, bekas penimbunan balok-balok yang tak terpakai itu dimanfaatkan warga sekitar untuk menjual kembang untuk kepentingan nyekar atau ziarah. Aktifitas warga yang berjualan bunga atau kembang tersebut kemudian menjadikan nama Balokan berubah menjadi Pasar Kembang atau Sarkem. Nama Sarkem pun akhirnya dikenal hingga sekarang bersamaan dengan sejumlah tempat prostitusi di dalamnya.