Kasus Perkosaan Besar di Jogjakarta
Perempuan itu masih berusia 18 tahun. Sumarijem namanya. Ia asli Godean. Sum, sebagaimana ia disapa oleh pelanggannya, adalah penjual telur. Tiap hari, ia berkeliling Godean menjajakan dagangannya. Ia berangkat pagi, pulang sore. Namanya mendadak tenar medio 1970an di Jogjakarta. Bukan karena telur ayam yang dijualnya, melainkan karena kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh sejumlah orang.
September 1970, Sum melaporkan pemerkosaan itu pada polisi. Ia mengadu, empat orang laki-laki memerkosanya di sebuah mobil. Keempatnya berciri sama: berambut gondrong. Untuk mendapat bukti fisik, polisi memvisumnya di Rumah Sakit. Terbukti, dirinya benar diperkosa.
Melapor polisi tampaknya kesialan kedua bagi Sum. Bukannya diproses, ia malah dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sebab, pelaku pemerkosaan yang disebutnya mengarah pada anak pejabat, Jenderal, dan keluarga Keraton Jogjakarta. Selama dipenjara, Sum kerap disiksa sampai dicap PKI oleh polisi.
Lama di penjara, adalah Komandan Daerah Inspeksi Kepolisian 096 Jogjakarta, Kombes Indajoto yang memerkarakan kasus perkosaan ini di pengadilan. Namun, penyeretan ini bukan untuk memenjarakan keempat pelaku, melainkan untuk memenjarakan Sum secara permanen dengan tuduhan membuat keterangan palsu.
Masuknya kasus ini ke pengadilan membikin Sum menjadi sorotan media. Sejumlah media massa di Jogjakarta dan nasional ramai-ramai memberitakan kisah perempuan ini. “Sum Kuning” begitu media memberi judul. Warga Jogja tidak ketinggalan mengikuti persidangan, baik datang secara langsung maupun via surat kabar. Besarnya atensi warga membikin persidangan akhirnya tertutup untuk umum.
Dalam persidangan, sebagaimana diceritakan dalam buku Hoegeng, secara ajaib, polisi menghadirkan seorang tukang bakso bernama Trimo. Polisi, bersama Jaksa penuntut umum menyatakan Trimo adalah pelaku perkosaan. Ini membikin Sum dituduh memalsukan laporan dan ia dituntut tiga bulan penjara.
Keajaiban terjadi. Tuduhan dan tuntutan Jaksa dimentahkan oleh Hakim Ketua Persidangan, Lamijah Moeljarto. Ini adalah peristiwa yang sangat jarang terjadi di era Orde Baru (Orba). Biasanya, perangkat peradilan, dari jaksa hingga hakim kerap satu suara dalam memutuskan perkara yang dianggap merugikan pejabat Orba.
Sum dibebaskan. Lamijah juga membeberkan kebiadaban polisi terhadap Sum selama ia dipenjara. Pun penyiksaan terhadap Trimo. Mendengar pengungkapan itu, Hoegeng, yang masa itu menjabat sebagai Kapolri meradang. Ia memanggil Dandin 096 Jogjakarta, Indrajoto, yang dinilai bertanggung jawab atas penyiksaan itu. Indrajoto dipecat. Hoegeng, memutuskan akan menyeret keempat anak dan keluarga pejabat itu ke pengadilan.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun.Kita hanya takut pada Tuhan Yang Maha Esa. Jasi kalau salah tetap kita tindak,” ucap Hoegeng pada waktu itu.
Keputusan ini membikin nama Sum masuk istana negara. Soeharto, yang mendengar soal pembelaan Hoegeng pada Sum tersentak. Ia tidak mengira Hoegeng begitu berani. Untuk membatasi pergerakan Hogeng dalam penuntasan kasus, Soeharto memerintahkan Pangkopkamtib turun tangan. Hasilnya, Oktober 1971 Hoegeng dipecat. Pangkoptamtib, yang mengambil alih kasus menyeret 10 orang yang dituduh sebagai pelaku. Meski begitu, Sum tetap bersikeras dengan pendiriannya, bahwa 10 orang tersebut bukanlah pelaku.
Dikabarkan bahwa pasca kasus itu Sum bekerja di sebuah RS di Semarang. Ia menikah dengan teman kerjanya. Saat ini ada isu bahwa dirinya pindah ke Banyumas dan bekerja sebagai perawat.
Kisah si Sum masih menjadi perbincangan 10 tahun setelah kasus itu dikaburkan. Pada 1978, muncul film yang menceritakan kemalangan si Sum berjudul Perawan Desa. Film itu disutradarai oleh Frank Rorimpadeny dan dibintangi oleh Yati Octavia. Namun film ini sempat dilarang beredar.