Ngobrol Santai Bersama Sudjiwo Tedjo
Seniman sekaligus dalang, Sudjiwo Tejo dikenal sebagai sosok yang eksentrik dengan kritik-kritiknya yang menggelitik. Dalam setiap aksi dalangnya, beberapa pakem pernah dilanggarnya. Seperti Rahwana, tokoh simbol kejahatan dalam dunia pewayangan, sempat dibuat jadi baik. Sementara tokoh protagonis seperti Pandawa, pernah digambarkan tidak selalu benar.
Sebagai seniman, Sudjiwo mengangap seni mampu meleburkan banyak agama. Bagaimana pandangan dalang nyentrik ini dalam memandang hubungan agama, dan budaya? Pemikiran Sudjiwo inilah yang menjadi pokok bahasan program Agama dan Masyarakat yang disiarkan KBR68H, bersama Sudjiwo Tedjo sendiri dan Muhammad Sobary.
Menurut Sudjiwo, status dalang itu menjalankan beberapa fungsi. Antara lain bikin musik, menyiapkan naskah, dan sedikit-sedikit mengerti seni rupa. Seniman yang sudah menelurkan dua album musik ini mencontohkan, kalau dirinya sering diposisikan sebagai komentator. Hal itu, katanya, hanyalah menjalankan salah satu fungsi dari dalang, karena wayang itu seni politik.
Sobary berpandangan, sebagai seniman Sudjiwo melihat hidup dari sudut estetika. Bicara tentang Agama, Sudjiwo memandangnya bukan soal fiqih, bukan soal peraturan terkait jilbab atau jenggot. Agama baginya ialah gambaran dari kemahamuliaan Tuhan yang ditiru manusia. Seharusnya kemurahan Tuhan yang menjadi kredo hidup manusia supaya manusia juga memiliki watak murah.
“Kesenian bayangan dari watak Sudjiwo, kalau beliau percaya ada sesuatu energi yang maha dahsyat dalam bidang kesenian tidak bisa diukur kapasitasnya,” jelas Sobary.
Sudjiwo menambahkan, hampir tidak mungkin soal Ketuhanan tidak masuk dalam wayang, karena dasar dari adanya tokoh-tokoh yang tidak ada di Mahabarata (versi asli di India). Misalnya Semar, yang dipercaya sebagai penunggu pulau Jawa.
“Intinya di dalam Tuhan itu sudah tidak ada benar salah, kita ngomong katakanlah segitiga atau kerucut, ketika kita ngomong di dasar ada polarisasi ini sudut yang salah dan benar, makin ke puncak makin mengerucut. Kalau tidak ada koruptor apa pekerjaan wartawan, kalau tidak ada yang brengsek lalu apa pekerjaan demonstran,” tegas Sudjiwo.
Dalam perbincangan ini, Sudjiwo juga mengomentari persoalan korupsi. Ia mengakui sudah sejak lama memikirkan korupsi secara visual. Menurut pelantun Anyam-Anyaman ini, bom teroris yang meledak di Kuningan, Kedutaan Australia, dan seterusnya, sebenarnya efeknya tidak seberapa dibanding masalah korupsi yang jauh lebih dahsyat itu koruptor.
“Membunuhnya tidak langsung seperti dengan pisau tajam membunuh ayam langsung mati, membunuhnya dengan pisau tumpul memiskinkan,” papar Sudjiwo.
Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB