Home » Figur » Rebel Riots : Komunitas Punk Musuh Besar Pemerintah Burma

Rebel Riots : Komunitas Punk Musuh Besar Pemerintah Burma



rebel riot

Istimewa

Orangtua Kyaw Kyaw khawatir ia menjadi pecandu narkoba. Sementara tetangga berpikir dia gila ketika laki-laki 26 tahun ini mengecat rambutnya warna biru, dengan tato di sekujur tubuh dan mulai memakai sepatu boot hitam berat, jaket kulit dan kaus Anarkis.

“Ini adalah masyarakat yang sangat beda, dengan aturan tradisional. Mereka pikir kami sinting. Kami gila. Mereka tidak paham siapa kami,” ujar Kyaw.

Di negara ini, sebagian besar laki-laki mengenakan pakaian tradisional. Dan berpakaian ala punk adalah tindakan pemberontakan.Tapi bagi Kyaw Kyaw dan teman-temannya, punk itu lebih dari sekadar gaya berbusana.

Inilah cara mereka melawan pemerintahan yang disokong militer, yang berkuasa pada 2010 lewat Pemilu yang dianggap penuh kecurangan.Kyaw Kyaw memperkirakan hanya ada 200 anak punk di Rangoon. Dan ketika mereka pindah ke lingkungan ini, para tetangga tak senang.

Di dapur markas satu-kamar milik Rebel Riots. Hampir tengah malam sekarang, waktu yang penuh resiko untuk main musik punk.

“Ini berbahaya sebetulnya, karena lingkungan ini sangat sepi. Tolong tutup pintu,” ujar Kyaw.

Kyaw Kyaw menyuruh yang lain untuk melapisi drum dan simbal dari kaleng untuk menyamarkan suara. Markas Rebel Riots adalah rumah satu kamar di pinggiran Rangoon. 14 orang tinggal di sini bersamaan. Dinding markas dipenuhi poster konser punk: penyanyi dengan rambut mohawk berteriak di depan mikrofon di hadapan penonton yang gegap gempita.

Burma berubah pesat dan aturan sensor yang lama telah dilonggarkan. Tapi tak ada yang yakin di mana batas-batas kebebasan yang baru dan apa yang bisa membuat Anda dipenjara.Di salah satu lagu milik kelompok ini, liriknya bercerita soal tak ada lagi ketakutan, tak ada lagi ketidakpastian, dan perlawanan terhadap sistem yang menekan.

“Sejak kecil saya selalu ingin jadi orang yang radikal. Saya mendengar musik punk dan ini adalah musik radikal yang sangat bertentangan dengan budaya tradisional Burma.”

Sejak lama Kyaw ingin mengubah kondisi masyarakat sekitarnya. Kini ia melakukannya melalui punk.

“Punk! Hahaha… Sejak saya masih sekolah, saya ingin mengubah masyarakat. Saya tidak suka bagaimana orang membohongi satu sama lain. Saya tidak suka korupsi dan penyalahgunaan uang. Saya tahu itu sejak kecil dan saya tidak suka. Saya ingin mengubah masyarakat dan memilih punk untuk melakukannya.”

Ia mulai mendengarkan musik punk pertama kali dari DVD. “Sex Pistols Band pertama saya adalah Sex Pistols. Saya mendengarkan lagu “Anarchy in the UK”.

“Saya menemkan DVD di pinggir jalan dan saya senang sekali! Ini seperti menang lotere!” ujar Kyaw sambil tertawa.

Tapi keluarga Kyaw Kyaw tidak senang. Kyaw Kyaw bercerita tentang ayahnya, seorang polisi.“Dia seorang polisi, tapi dia melawan pemerintah. Dia tidak mau mendukung pemerintah, tapi dia tak punya pilihan lain.”

Kyaw Kyaw mengatakan, jika ayahnya meninggalkan kepolisian, dia bakal dipenjara dua tahun. Kata dia, alternatif yang ada adalah menyogok dan mereka tak punya uang. Semula, kata Kyaw Kyaw, ayahnya sangat kaget dengan gaya punk-nya. Tapi setelah ia menjelaskan kalau ia ingin memperbaiki masyarakat, ayahnya paham. Dan sekarang mereka sering berdiskusi soal politik.

“Kadang pendapat kami sama. Yang dia inginkan, adalah yang saya inginkan.”

Apakah sekarang ayahnya bangga?

“Tidak terlalu… hahaha… Tidak bangga karena di satu sisi, dia khawatir soal saya. Karena kadang saya ikut demonstrasi ke jalanan. Di sini, demonstrasi sangat berbahaya, jadi dia khawatir pada saya.”

Kyaw Kyaw membentuk Rebel Riot pada 2007. Saat itu junta militer memberangus apa yang disebut “Saffron Revolution” yang dihelat biksu Buddha. Ribuan demonstran anti-pemerintah ditahan. Tentara bahkan diperintahkan untuk menembak warga Burma.

Dia tak terkesan dengan perubahan di negerinya menuju pemerintahan sipil setelah lima dekade berada di bawah pemerintahan militer. Kata dia, pemerintah sekarang terdiri dari anggota junta yang sebelumnya.

“Demokrasi itu setara dengan kapitalisme. Sementara “perubahan” hanya ada di kata-kata, bukan perubahan yang sebetulnya. Jurang antara si kaya dan si miskin terus melebar. Dan tidak ada yang melakukan apa pun soal ini. Dan saya kira perubahan di pemerintahan tidak akan dan tidak melakukan apapun soal ini.”

Kyaw Kyaw dan kelompoknya juga peduli dengan perang saudara yang terjadi di negara bagian Kachin antara pemberontak etnis yang menuntut hak lebih banyak dan militer. Baru-baru ini mereka menggelar protes kecil di jalanan, menuntut kekerasan segera berakhir.

Mereka juga menyampaikan pandangan politik mereka lewat baju yang dijual di toko pinggir jalan. Kadang-kadang di malam hari setelah toko tutup, mereka membagikan makanan kepada tuna wisma.

“Setiap hari kami melihat orang miskin, tuna wisma, anak jalanan. Dan kami berpikir, apa yang bisa kami bagikan? Kami hanya bilang, ini makan malam untukmu.”

Meski sering hidup dalam kekurangan, kelompok punk ini masih berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.“Mereka tak peduli siapa kami. Mereka bilang ‘terima kasih, kami sangat lapar’. Mereka tidak peduli kami terlihat seperti apa, mereka hanya kelaparan.”

“Kadang uangnya tak cukup untuk makan. Jadi kadang kami juga kelaparan, kadang kami tak punya cukup uang.”

Kata dia, orang tuanya kerap mengecek dia dan membawakan makanan, memintanya untuk makan lebih banyak karena ia terlalu kurus. Mereka juga khawatir dengan anaknya yang digigiti nyamuk di sini malam hari.

Mereka sangat mencintai saya, kata dia.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org

Facebook Twitter Share on Google+