Home » Berita, Nasional » Pembongkaran Paksa Gereja Masih Marak

Pembongkaran Paksa Gereja Masih Marak



istimewa

Pemerintah Kabupaten Bekasi kembali membongkar paksa gereja, kali ini yang menjadi sasaran pembongkaran adalah Gereja HKBP Taman Sari di Setu, Bekasi. Pembongkaran dilakukan, dengan alasan pengelola tidak mengantongi izin mendirikan bangunan. Pembongkaran ini sebagai tindak lanjut, setelah sebelumnya Pemkab Bekasi telah menyegel gereja tersebut. Jemaat terpaksa beribadat di halaman gereja.

Tak hanya di Setu, ancaman larangan beribadat juga dialami jemaat gereja lainnya seperti di Tambora, Jakarta Barat. Warga protes karena aula gedung TK-SMA Damai milik Yayasan Bunda Hati Kudus akan dijadikan tempat ibadat. Belum lagi kasuspenyegelan tempat ibadat jamaah Ahmadiyah yang acapkali terjadi.

Ancaman terhadap kebebasan beribadat inilah, yang menjadi tema diskusi Agama dan Masyarakat yang diselenggarakan KBR68H, bersama tiga narasumber, yaitu Pendeta Advent Leonard Nababan (Gereja HKBP Taman Sari, Setu, Bekasi), Rudi Praktikno (Perwakilan Keusukupan Agung DKI Jakarta) dan Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua Setara Institute).

Pendeta Nababan menjelaskan, pihaknya akan menempuh jalur hukum, sebagai pembelajaran agar masyarakat kita menghormati hukum. Menyinggung soal kekuatan ormas tertentu, yang ikut mendukung pembongkaran, Nababan menganggap keberadaan mereka sia-sia belaka. “Pembongkaran itu sebenarnya cacat hukum, pihak gereja tidak pernah menerima surat dari bupati atau walikota tentang pembongkaran. Tetapi surat dari Satpol PP, padahal itu bukan wewenangmereka,” tegas Nababan.

Bonar mencatat, sebenarnya bukan umat Kristiani saja yang pernah terancam. Menurut Bonar, awal Maret di Kabupaten Tarutung, Sumut, warga lokal menolak pendirian masjid, karena masjid itu akan diapit dua gereja, juga masjid yang ada dianggap masih mencukupi.

Masih menurut Bonar, harus diakui ada egoisme keagamaan yang berkembang di masyarakat kita, kemudian diperuncing menjadi lebih rumit lagi. “Pemerintah lokal dengan pertimbangan politik melakukan pembiaran, karena mereka dianggap konstituen, mereka butuh dukungan politik,” jelas Bonar.

Nababan menambahkan, banyak keputusan pemerintah terkait penyegelan dan pembongkaran, karena adanya intervensi ormas atau kelompok intoleran. Nababan menceritakan pengalamannya, ketika mengurus perizinan, pihak gereja dipanggil oleh camat, ternyata sudah ada 750 massa yang datang, yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Tamansari.

“Atas tekanan seperti itulah sehingga majelis pihak gereja menandatangani surat kesepakatan dan itu terjadi pada semua lingkungan di sana,” ujar Nababan.

Rudi menyampaikan perkembangan kasus Gereja Tambora. Ada unjuk rasa dari warga sekitar, karena mereka orasi, dan jumlahnya banyak, jadi pintu ditutup, kemudian beberapa warga masuk untuk menyampaikan aspirasinya. “Jadi sekelompok warga ini menyampaikan tuntutan seolah-olah melanggar peraturan atau undang-undang, mereka menginginkan aktivitas peribadatan dihentikan,” keluh Rudi.

Bonar membenarkan sikap kelompok moderat, yang lebih memilih cara-cara yang persuasif, tidak mau konfrontatif,yang di kalangan muslim dikenal istilah Ukhuwah Islamiyah. Namun menurut Bonar, cara seperti itu tidak selalu efektif.“Perlu juga kelompok-kelompok yang moderat itu bersuara lebih lantang lagi dan menekankan pentingnya toleransi kebersamaan,” imbuh Bonar.

Rudi menambahkan, yang dipersoalkan sebagian warga di Tambora tersebut, sebetulnya adalah sarana untuk pendidikan, tempat ibadah, dan kesehatan, sebagai fasilitas sosial. Menurut Rudi, sebetulnya diubahnya tidak banyak, kecuali dari jalur hijau diubah menjadi fasilitas sosial.

“Sebetulnya sebagian besar masyarakat setuju. Cuma sayang suara itu tidak muncul di permukaan, justru yang muncul di permukaan adalah yang mengatakan lebih keras, lebih radikal,” papar Rudi.

“Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB”

 

Facebook Twitter Share on Google+