Televisi Jadikan Ulama Selebriti
Perkembangan budaya pop melalui media elektronik (khususnya televisi), memang luar biasa. Bahkan untuk tema yang (seharusnya) serius pun, seperti soal agama, juga dikemas secara populer, atau biasa disebut sebagai infotainment. Dalam kemasan seperti itu, seorang ulama atau juru dakwah, diperlakukan bak selebriti.
Hari-hari ini sedang ramai diberitakan, seorang guru spiritual kalangan artis, yang sedang bermasalah dengan salah seorang muridnya. Persoalan yang sebenarnya adalah urusan privat diangkat ke ranah publik, mengingat dua pihak yang terlibat dianggap sebagai pesohor. Tema agama dalam kemasan infotainment inilah yang menjadi pokok bahasan program Agama dan Masyarakat, yang diselenggarakan KBR68H. Diskusi bersama dua narasumber, yaitu Fajar Riza Ul Haq (Kelompok Kerja Gerakan Penegak Moral Bangsa, Direktur Eksekutif Maarief Institute) dan Muhammad Heychael (peneliti media di lembaga Remotivi)
Menurut Heychael, media televisi mengisi bagian yang dibutuhkan masyarakat, yaitu soal keagamaan. Misalnya, sinetron-sinetron di bulan Ramadhan, yang awalnya sebagai suguhan untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat .
“Ternyata dalam perkembangannya, agama tidak hanya dibutuhkan saat Ramadhan , bahkan tayangan yang selama ini kita anggap non-religi juga dibumbui religiusitas,” ujar Heychael.
Fajar berpendapat bagaimana agama atau kelompok agama bisa menyajikan agama ke ruang publik secara baik. Kecenderungannya tontonan agama di ruang publik dikemas secara populer, ini disebabkan agama sudah menjadi bagian dari budaya pasar. “Ini terkait dengan mental masyarakat, lebih suka menonton tayangan keagamaan yang dibumbui unsur hiburan. Tapi kalau diberikan tayangan agama yang serius orang akan meninggalkannya, misalnya acara Quraish Shihab di satu stasiun TV di bulan Ramadhan,” papar Fajar.
Heychael melihat banyak tayangan agama berdasar asumsi permintaannya banyak. Bagaimana agama harus tayang di televisi, medium visual itu lebih mengutamakan pencitraan ketimbang substansi, kemasan lebih penting daripada isi.Pertanyaan pertama produser televisi biasanya bagaimana memvisualisasi orang beragama atau beriman. “Akhirnya ada satu macam logika yang mereduksi agama menjadi sebatas atribut, misalnya untuk menggambarkan seorang beriman dia harus dilekatkan sorban, baju gamis, dan sebagainya,” imbuh Heychael .
Fajar menambahkan, kadang orang memandang sebuah tayangan seperti sebuah industri yang bersifat komersil.Dia akan mengeksploitasi sesuai kepentingan itu. Mungkin juga ada masalah, apakah faktor rating betul-betul murni keinginan persepsi penonton, atau konstruksi kepentingan pemodal tertentu.
“Ini menjadi sangat kompleks, oleh karena itu bukan hanya si tokoh agama, tapi juga kepentingannya si produser, pemilik stasiun teve, dan pemberi iklan,” kata Fajar.
Heychael menyebutkan agama di televisi tidak menemukan manifesnya secara menyeluruh. Karena logika waktu pendek tayangan televisi, bahwa segala sesuatunya harus cepat, instan, dan menghibur. “Saat segala sesuatu ditayangkancepat, dia hanya potongan-potongan, sehingga televisi tanpa merasa bersalah bisa menyandingkan ceramah agamadengan tayangan konsumerisme. Atau tanpa rasa bersalah, para pendakwah di televisi menjadi bintang iklan seperti yang dilakukan Mamah Dedeh,” ujar Heychael.
“Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB”