Pemuka Agama Pertanyakan Pluralisme di Indonesia
Toleransi beragama berada dalam taraf yang benar-benar mengkhawatirkan. Kita baru saja mendengar, jamaat Ahmadiyah di Tasikmalaya kembali diserang. Kemudian warga Syiah yang selama berbulan-bulan mengungsi di Stadion Sampang, Madura, ditolak oleh warga sekitar, ketika mereka akan kembali ke desa asal. Keberadaan empat pilar, yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, tidak secara otomatis menjamin kerukunan beragama di lapangan.
Baru-baru ini sejumlah rohaniawan mendatangi Gedung MPR RI, untuk mempertanyakan ada apa dengan empat pilar kebangsaan kita, sehingga kerukunan kehidupan beragama selalu dalam ancaman. Soal empat pilar dan ancaman terhadap kerukunan beragama inilah yang menjadi tema perbincangan program Agama dan Masyarakat, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, bersama narasumber Melani Leimena Suharli (Wakil Ketua MPR) dan Binsar Pakpahan(perwakilan Forum Rohaniawan Jabodetabek).
Menurut Binsar, maksud kunjungan ke MPR adalah untuk menyampaikan keluhan soal eskalasi kekerasan yang terjadi antarumat beragama. Juga soal peraturan-peraturan terkait peribadatan yang sepertinya ditentukan secara semena-mena, sehingga terjadi penyegelan dan pembongkaran tempat ibadat.
“Kami percaya bahwa MPR adalah lembaga tertinggi,sebagai lembaga tertinggi kami mau mengadu. Tadinya tempat ibadah disegel kelompok tertentu, sekarang pemerintah yang menyegel dan membongkarnya. Ketika kami harusnya bisa mengadu ke pemerintah setempat ternyata dia yang merusaknya sendiri,” keluh Binsar.
Melani menjelaskan konsep empat pilar memang diperkenalkan pimpinan MPR periode 2009-2014, di bawah Taufik Kiemas. Berdasar kenyataan masih adanya konflik-konflik yang ada di Papua, Aceh, dan daerah lainnya. “Saya juga sangat prihatin kalau rumah-rumah ibadah itu disegel atau dibongkar. Dari sekarang izin-izinnya bagaimana, kita harus periksakembali sehingga tidak ada yang merasa diabaikan,” ajak Melani.
Binsar memberi contoh soal nasib jemaat Ahmadiyah di Bekasi, yang dikurung berhari-hari, yang akhirnya diberimakan oleh pihak Kapolsek setempat. Menurut Binsar, kasus-kasus seperti ini seharusnya pemerintah bisa menolong, kalau dibiarkan maka tempat berlindung bagi mereka tidak ada lagi.
“Karena itu kami ke MPR sebagai lembaga tertinggi negara kita, agar MPR mendesak pemerintah pusat memberi jaminan dan perlindungan kebebasan dan kemerdekaan beragama tanpa memandang SARA. Ini bisa kita lihat dengan semakin meningkatnya eskalasi kekerasan, karena tidak percaya lagi dengan lembaga pemerintah dan lembaga penegak hukum,” tegas Binsar.
Melani mengingatkan, sebenarnya MPR sekarang bukan lagi sebagai lembaga tertinggi, namun setara dengan tujuh lembaga negara lain. Melani menyampaikan, Ketua MPR Taufik Kiemas menyatakan persetujuannya, soal keluhan para rohaniwan. “Saya sangat setuju bahwa media kita harapkan ikut memberikan berita yang benar-benar profesional. Jadi jangan untuk meletupkan saja, sebenarnya apa masalahnya supaya masyarakat lebih mengerti, media memang sangat berperan,” ujar Melani.
Binsar mengaku memiliki banyak teman-teman muslim, karena itu Binsar percaya bahwa bangsa Indonesia sejatinyaadalah bangsa yang toleran. Binsar menyayangkan, sikap toleran bangsa Indonesia ini dimanfaatkan, karena kita jugamemberi toleransi terhadap orang-orang yang intoleran.
“Karena kita diam, sepertinya ada kelompok-kelompok yang mau mengacaukan landasan negara, justru didiamkan dan membuat kami gerah kenapa pemerintah absen,” tegas Binsar.
Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB