Mencari Solusi Kekisruhan E-KTP
Program pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) telah dimulai sejak Oktober 2011. Program ini dimaksudkan untuk menertibkan administrasi kependudukan yang berbasis elektronik, mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP, sehingga tercipta data penduduk yang akurat. Hanya saj program e-KTP ini sejak awal sudah menuai masalah. Mulai dari pencairan anggaran, isu korupsi, kesiapan sistem, sampai pungutan liar. Kasus terakhir yang sampai hari ini masih ramai dibicarakan adalah soal pelarangan untuk digandakan (fotokopi).
Penting kiranya masyarakat mendapatkan informasi yang jelas dan tidak simpang siur. Mengingat e-KTP adalah alat utama untuk mempermudah proses pengurusan hak-hak warga. Terutama menyangkut pelayanan publik, seperti kredit perbankan, jaminan kesejahteraan sosial, pemberian subsidi pemerintah, hingga pelayanan kesehatan. Kekisruhan e-KTP inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV. Bersama dua narasumber, yaitu Irman, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan Tama S. Langkun, Indonesian Corruption Watch.
Tama menyebut, secara prinsipil program e-KTP sebagai sesuatu yang positif. Karena terkait soal pelayananan publik, soal akuntabilitas pelayanana hingga pada penerapan single identity number. Tama melanjutkan, jauh sebelum proyek ini diaksanakan, ICW sudah mengingatkan kepada pihak Kemendagri. Dalam hal jangka waktu pelaksanaan, sesuai kontrak pelaksanaannya dimulai Oktober 2011 dan berakhir hingga Oktober 2012. “Kalau mengacu pada kontrak harusnya Oktober 2012 semua sudah selesai dan setiap orang sudah pegang e-KTP. Tapi sampai sekarang ada yang masih belum punya di Mei 2013,” jelas Tama.
Menurut Irman, pemanfaatan e-KTP dengan menggunakan card reader kepada unit kerja layanan publik di masing masing jajaran, baik di level Kementerian, lembaga, perbankan, serta jajaran Pemprov maupun Pemkot. “Secara substansi, kelebihan e-KTP dibanding KTP biasa adalah chip. Chip itu hanya bisa dibaca dengan card reader. Kalau card readernya tidak tersedia, maka kelebihannya tidak ada artinya,” tegas Irman.
Tama mengingatkan, sudah ada beberapa lembaga yang memberikan catatan, seperti KPK, BPK, terkait proses pengadaan dan pelaksanaan. Menurut Tama, beberapa masukan atau hasil audit tersebut bisa dikerjakan Kemendagri sehingga ada solusi. “Seperti soal larangan memfotokopi dan menstaples, yang bila dilakukan akan dikenakan sanksi. Bagaimana implementasinya, siapa yang akan memberikan sanksi dan apa sanksinya, masih belum jelas,” ucap Tama dalam nada tanya.
Soal SK larangan fotokopi, menurut Irman, perlu ditinjau kembali. Kalau difotokopi, yang diberi sanksi adalah pejabat yang memberikan layanan bukan masyarakat. Ini positif untuk menjaga kartu, mengingat setelah 1 Januari 2014, KTP yang non-elektronik tidak berlaku. “Pada 2011 kita sudah rumuskan dalam bentuk Pepres No 67 tahun 2011, bahwa unit kerja layanan publik wajib menyediakan card reader,” ujar Irman.
Menurut Tama, sebetulnya problem paling mendasarnya adalah melakukan sosialisasi dan memobilisasi masyarakat untuk membuat KTP. Dan itu kata kuncinya kesiapan Pemda. Kalau pemerintah mencoba melibatkan perbankan, pemilu, kesehatan dan sebagainya, pastikan dulu card reader sampai di tempatnya. “Saya rasa di negara mana pun tidak dikenal pembuatan KTP secara massal. Bahkan di negara maju seperti Jepang, butuh waktu bertahun-tahun untuk implementasi,” jelas Tama.
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”