Home » Jogjapedia » Sejarah Warga Tionghoa di Jogja (Bagian Tiga)

Sejarah Warga Tionghoa di Jogja (Bagian Tiga)



Makin banyaknya sekolah dan pendirian kampung di Jogja memasuki abad ke-19 merupakan dampak wacana nasionalisme yang dikumandangkan Sun Yat Sen di negeri Cina. Menurut Budi Susanto dalam Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, gerakan nasionalisme Sun Yat Sen melahirkan gerakan Pan-Tionghoa di tanah Jawa. Gerakan ini mewacanakan pemasifan kebudayaan Tionghoa di tanah Jawa seperti yang dilakukan Sun di Cina. Dampak dari gerakan ini adalah banyaknya imigran baru asal Tionghoa yang datang ke Jogjakarta, kemudian memanifestasikan gerakan ini dengan pembangunan sekolah, pasar, hingga kampung.

Gerakan ini disertai dengan perangkulan pada seluruh lapisan masyarakat di Jogjakarta. Warga Tionghoa di Jogja merangkul barat, pejabat Keraton, hingga penduduk. Ini dilakukan agar mereka mendapatkan ruang yang sama bahkan lebih di Jogjakarta. Strategi ini berhasil. Warga Tionghoa mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Hindia Belanda dan Keraton Jogjakarata.

Salah satu buktinya adalah pendirian Rumah Sakit Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders yang kini bernama Rumah Sakit Dr.Yap tahun 1923. Pendirinya adalah seorang Tionghoa bernama Yap Hong Ttjoen yang mendapat dukungan dari beberapa orang pemerintahan Hindia Belanda. Mulanya rumah sakit ini didirikan di Jalan Gondolayu, namun karena banyaknya pasien dan kebutuhan membuat Dr.Yap berpikir untuk membesarkan RS ini. Saat ituah datang bantuan dari Keraton dengan tawaran tanah seluas 2.955 meter persegi untuk pembangunan.

Timbal baliknya, warga Tionghoa menyatakan dukungannya pada Sultan HB IX naik tahta tahun 1940. Meski pada masa itu sangat dekat ke barat, namun karena mengingat jasa Keraton terhadap warga Tionghoa sejak To In, Tan Jin, dan Dr.Yap, mereka mendukung penaikan tahta tersebut.

Facebook Twitter Share on Google+