Gay Pride, Mendobrak Batasan Kaum LGBT di Myanmar
Salah satu hotel di pusat kota Yangon mengadakan sebuah acara peringatan hak-hak gay, Gay Pride untuk yang kedua kalinya.
Meski aktivitas homoseksual kerap mendapat diskriminasi dan dianggap melanggar hukum, tapi kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) disambut hangat dalam acara tersebut. Dan masih banyak kaum konservatif Myanmar yang belum bisa menerima keberadaan mereka.
Acara ini juga memaparkan laporan tentang pemenuhan hak LGBT di Burma yang di gawangi oleh Equality Myanmar (LSM nonprofit yang berkecimpung dalam HAM).
“Banyak sekali kasus-kasus pelecehan yang dilakukan para polisi terhadap kaum gay. Mereka selalu menggunakan Undang-undang No 377 sebagai perangkap. Mereka juga memakai aturan polisi lain yang menyebutkan kalau siapa pun yang tertangkap basah ada di tempat gelap bisa ditangkap. Mereka memakai aturan ini untuk melecehkan, mengintimidasi, menangkap dan melanggar hak-hak LGBT secara seksual.” Tutur Aung Myo Min, selaku pemimpin Equality Myanmar.
Aung Myo Min yang juga seorang homoseksual pernah mengalami pengasingan di Thailand. Setelah keluar dari pengasingan ia akhirnya membangun gerakan kesetaraan hak-hak kaum gay di Myanmar.
Dalam acara ini juga membagikan kondom dan brosur terkait bahaya HIV kepada 1000 orang yang hadir dalam acara tersebut. Tak hanya orang biasa, utusan diplomat juga turut menghadiri acara tersebut.
Dalam acara tersebut juga mempertontonkan tarian-tarian yang diiringi oleh lagu Unity yang populer di kalangan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Salah satu liriknya berbunyi “Stop diskriminasi dan trimalah perbedaan”.
Acara yang pernah diselenggarakan tahun lalu ini merupakan tonggak bersejarah bagi kaum-kaum LGBT. Setelah pada tahun sebelumnya sukses menggelar acara serupa untuk pertama kalinya. Dan acara sebelumnya juga ditasbihkan sebagai Hari Internasional Anti Ketakutan terhadap Kaum Homoseksual.
Akan tetapi hal itu masih belum mampu menyetarakan hak-hak kaum LGBT. Mereka kerap dianaktirikan.
Nat Nat New, 39 tahun, diusir dari rumahnya karena caranya berpakaian dan berperilaku layaknya perempuan. Ia juga kerap mendapat cemoohan dalam bis umum karena hal tersebut.
“Saya sempat terlunta-lunta, tinggal di jalanan dan rumah seorang teman, tapi hal itu tidak berjalan baik. Lalu saya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sampai akhirnya saya memiliki cukup uang untuk menyewa sebuah rumah. Saya berteman baik dengan para tetangga, akhirnya mereka menerima saya apa adanya.” Akunya.
Seiring reformasi dramatis dari Presiden Thein Sein, banyak hal perlahan mulai berubah. Ada program TV di internet berjudul “Colours Rainbow TV” yang mengudara sebulan sekali. Program yang ditujukan bagi kaum gay ini adalah yang pertama.
Ada juga pelatihan bagi komunitas LGBT dan kaum minoritas lainnya sehingga mereka bisa saling melindungi hak masing-masing. Tapi menurut Aung Myo Min, perjalanan mereka masih panjang.
“Pemerintahan yang baru menyatakan kalau Myanmar saat ini menganut demokrasi, kalau mereka menghormati hak asasi manusia. Kami ingin pemerintah memasukkan klausa soal orientasi seksual dan identitas gender ke dalam konsitutis, sehingga kaum LGBT mendapatkan perlakuan yang sama dengan warga negara lainnya di Burma.”
Sementara itu, menurut Min Sanong Htaw, mahasiswa universitas di jurusan Ilmu Politik, semua warga Negara harus diperlakukan setara.
“Saya penganut liberalisme. Kita semua harus punya hak yang sama, kebebasan dan keadilan. Selama kebebasan kami tidak merugikan orang lain, kita bebas melakukan apa saja. Hal ini berlaku bagi semua orang termasuk kaum gay.”
Aung Myo Min berharap masyarakat dapat mengubah persepsi mereka terhadap kaum LGBT.
“Kami bukan mahkluk luar angkasa atau badut. Kami adalah manusia. Kami ingin masyarakat menerima kami apa adanya…tidak memandang kami sebelah mata. Kami ingin pandangan ini berubah.”
Banyol Kong Janoi dan Lamin Chan, Asia Calling/ Rangoon, Myanmar, 22/05/2013.
Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.portalkbr.com/asiacalling.