Gabung Gerakan Shalat Dengan Tari, Lima Remaja di Polewali Perlu Pedampingan Khusus
Ini adalah pelajaran penting dari Tolitoli, Sulteng. Lima remaja puteri, siswi pada sebuah SMA di kota tersebut, kini harus berurusan dengan pihak kepolisian. Pada awal Maret lalu, mereka merekam gerakan shalat digabung dengan tari, dengan latar belakang lagu yang sedang populer. Video tersebut kemudian diunggah ke laman internet Youtube dan menjadi konsumsi publik.
Pihak sekolah yang mengetahuinya menjadi geram, dianggap sebagai penistaan agama. Mereka memutuskan mengeluarkan kelima siswa dari sekolah, dan tak bisa mengikuti ujian nasional. Kasus ini kemudian diusut Polda Sulteng
Pihak pemerhati anak, meminta agar kelima remaja tersebut tetap bisa ikut ujian nasional, demi masa depannya. Juga jangan dihukum terlalu berat, mengingat mereka sudah memperoleh “hukuman sosial” dengan meledaknya kasus ini. Tema inilah yang menjadi pokok bahasan program Agama dan Masyarakat, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV. Diskusi kali ini mengundang tiga narasumber, yaitu Abdul Mukti (Sekretaris PP Muhammadiyah), M Ihsan (Ketua Satgas Perlindungan Anak), dan Sumarno (Humas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah).
Ihsan menjelaskan, sebenarnya kelima remaja tersebut tidak mengerti bahwa yang mereka lakukan begitu mendunia, semua mata seolah tertuju pada mereka. Mereka sebenarnya hanya mengikuti perkembangan kejiwaan, pada usia seperti itu masih suka senang-senang, bermain bersama temannya. Cuma kebetulan ini direkam dan kemudian ditampilkan diYoutube. “Pada beberapa kasus, banyak anak yang lebih parah dari ini, kita punya cara sendiri untuk menghadapinya,” jelas Ihsan.
Mukti berpendapat, keberagamaan seseorang itu dibentuk masyarakatnya, utamanya keluarga. Mukti menambahkan, yang juga penting adalah lingkungan di sekolahnya, bagaimana dia bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Baru kemudianmasyarakat luas, yaitu kampung tempat mereka tinggal dan masyarakat media.
“Kalau sekarang misalnya ada community virtual atau media sosial, ini yang harus kita cermati dalam melihat persoalan ,” ujar Mukti.
Ihsan menandaskan, kita harus membedakan antara penistaan agama dalam konteks sebuah perbuatan yang disengaja dan anak yang melakukan dengan perkembangan yang sangat labil, itu tidak bisa dihadapkan dengan KUHP tentang penistaan agama. Ini tidak masuk pada unsur penistaan agama. “Jadi respon di bawah yang tidak mengerti aturan undang-undang dan bagaimana terpenuhinya unsur penistaan agama begitu cepatnya mengklaim di semua media sebagai penistaan agama,” tegas Ihsan.
Mukti kembali mengingatkan, bahwa anak-anak ini masih duduk di SMA. Kalau dilihat secara psikologis, anak yang dalam level kognitif itu berpikir hipotetik. Artinya dia bisa berpikir abstrak pada tingkat dasar, tapi belum mengerti konsep secara utuh, seusia mereka masih senang coba-coba, termasuk urusan tabu. “Karena belum punya pertimbangan yang matang itu, maka berpikir hipotetik tidak mereka pertimbangkan,” imbuh Mukti.
Menurut Sumarno, masih ada peluang kasus ini tidak akan diproses. Salah satu opsinya, bila ada rekomendasi MUI, mengingat faktor usia, ketidaksengajaan, iseng-iseng dan seterusnya. Namun dengan catatan perlunya pendekatan orang tua dan guru, untuk selalu memberikan pendampingan tentang agama. “Memungkinkan kalau kepala sekolah mencabut atau tidak mempermasalahkan, demi masa depan anak-anak dan menjadi suatu kegiatan yang membina anak-anak,” ujar Sumarno.
Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB