Home » Berita, Nasional » Pernyataan Kontroversial Majelis Islam Pakistan

Pernyataan Kontroversial Majelis Islam Pakistan



Akhir bulan lalu muncul pernyataan kontroversial dari Majelis Islam Pakistan terkait tes DNA yang dijadikan sebagai bukti kasus pemerkosaan. Pihaknya mengatakan bahwa tes DNA tidak dapat dijadikan bukti utama. Dan sebagai ganti bukti tersebut, haruslah ada kesaksian dari empat saksi pria. Konstitusional yang bertugas sebagai dewan penasihat pemerintah Pakistan untuk isu-isu Islam tersebut berpendapat bahwa tes DNA hanya dapat digunakan sebagai bukti pendukung.

“Dokter mempunyai tiga pendapat berbeda tentang DNA. Ada yang mengatakan hasil tes tersebut 98 persen akurat, lainnya yang mengatakan 80 persen akurat, dan sisanya mengatakan 75 persen akurat. Di masa lampau, tersangka dapat ditahan berdasarkan hasil tes DNA dan penyelidikan tetap dilakukan tapi tidak digunakan sebagai alternatif untuk saksi. Jika kasus yang diduga pemerkosaan paksa itu terbyata adalah kasus perzinahan, bagaimana mungkin kita menghukum terdakwa dengan hukuman rajam sampai mati?” jelas Hafiz Mohammad Tahir Ashrafi, Anggota senior majelis.

Menuai Kecaman

Karena pernyataan tersebut dirasa tidak benar, maka banyak kelompok hak asasi manusia dan hak asasi perempuan yang geram akan keputusan majelis tersebut. Salah satunya adalah Aurat Foundation. Pihaknya menilai keputusan ini hanya akan menambah beban para korban kasus perkosaan yang sudah menghadapi tekanna dikriminasi dari masyarakat Pakistan. “Kami melihat pengacara dari tersangka atau pelaku memberikan sejumlah pertanyaan kepada sang korban, yang kondisinya sangat rapuh, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menjawabnya. Kami menyebut itu sebagai pemerkosaan secara emosional,” seru Mehnaz Rehmen, salah seorang dari Aurat Foundation.

Mehnaz menambahkan, keputusan majelis tersebut sangat tidak masuk akal. “Ilmu pengetahuan dan prosedur hukum medis dapat membantu kita. Sangat masuk akal bila tidak akan ada orang yang melakukan tindak kejahatan itu di hadapan empat orang pria. Dan siapa yang akan melakukan tindak kejahatan saat empat pria tersebut menyaksikan anda?”

Di tempat lain, tepatnya di provinsi Sindh, perlemen setempat memutuskan untuk tidak menuruti keputusan majelis tersebut. “Hasil tes DNA harusnya dijadikan bukti wajib dalam kasus pemerkosaan. Negara di seluruh penjuru dunia mulai beralihpada penyelidikan ilmiah dan forensik daripada bersandar pada bukti kesaksian,” jelas Sharmila Farooqui, salah seorang anggota Parlemen.

 

 

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.portalkbr.com/asiacalling

Facebook Twitter Share on Google+