Home » Berita, Internasional » LGBT Singapura Desak Persamaan Hak

LGBT Singapura Desak Persamaan Hak



Diperkirakan setidaknya ada 21 ribu orang, jumlah terbesar sejak pertama kali diadakan lima tahun lalu, hadir memberikan dukungan mereka pada acara Pink Dot di Singapura.

Mereka menyerukan persamaan hak bagi komunitas LGBT – atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di negara di mana hubungan sesama jenis masih dianggap melanggar hukum. Hukum jarang ditegakkan, tapi aktivis hak asasi manusia ingin hukum itu dicabut.

Lautan massa berwarna merah muda, kebanyakan orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna merah muda. Tapi beberapa di antara mereka memutuskan untuk tampil lebih kreatif.

Seorang perempuan mengenakan sayap berwarna merah muda yang melekat pada bagian belakang blusnya, sementara seorang laki-laki memakai rambut palsu merah muda yang kebesaran.

Lainnya membawa hewan peliharaan mereka seperti anjing dan kucing…yang juga berpakaian serba merah muda.

“Ini adalah kali kedua saya ke sini dan saya lihat orang-orang telah menerima perbedaan seksualitas. Ada yang berani mengakui seksualitasnya tapi masih banyak orang di luar sana yang tidak menerima perbedaan ini,“ ujar seorang pria salah satu pengunjung perayaan.

“Teman saya seorang gay. Jadi saya ke sini untuk bersantai dan menghabiskan waktu bersama dia,” kata seorang pengunjung yang lain.

Juru bicara penyelenggara mengatakan ini adalah acara terbesar.

“Lima tahun lalu, orang-orang takut datang, tapi sekarang tidak lagi. Dengan senang hati, mereka mengenakan pakaian berwarna merah muda, mereka mengajak teman mereka, orang tua mereka, jadi kami bisa melihat ada perubahan pola pikir dan perilaku orang-orang dan komunitas LGBT itu sendiri di Singapura. Karena ini bukan hal yang tabu lagi.”

Tema acara Pink Dot tahun ini adalah “Home” atau ‘rumah’ … untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap topik yang penting bagi komunitas LGBT seperti diskriminasi dan stigma sosial.

Hubungan sesama jenis masih dikategorikan tindak pidana di Singapura, dengan ancaman kurungan maksimal dua tahun penjara.

Dua laki-laki homoseksual berusaha meminta Undang-undang dibatalkan, tapi petisi mereka ditolak oleh Pengadilan Tinggi Singapura.

Meski begitu, pasangan sesama jenis bisa sangat terbuka di Singapura. Beberapa kelompok LGBT bahkan melakukan sensus nasional pertama untuk LGBT Singapura.

“Lima tahun lalu ada 2500 orang pendukung dan tahun lalu ada 15.000. Jadi peningkatannya sangat luar biasa. Dan ketika kami memulai Pink Dot kami memiliki pemikiran bahwa jumlah pendukung yang datang menggambarkan penerimaan masyarakat terhadap komunitas LGBT,” tutur Alan Seah, aktivis dan anggota dari gerakan Pink Dot.

Tapi menurut Paerin Choa, media tetap menggambarkan komunitas mereka secara negatif.

“Karakter LGBT yang bahagia, bisa hidup normal, dan berprestasi dalam masyarakat tidak diperbolehkan dalam media pada umumnya. Karakter gay yang bunuh diri, psikopat, pembunuh dan depresi lah yang banyak muncul. Jadi reputasi yang menyimpang ini yang ada di media pada umumnya.”

Namun hal tersebut tidak menghentikan langkah Dr. Vincent Wijeysingha untuk berani mengakui seksualitasnya sebagai seorang homoseksual. Dia adalah politisi gay pertama di Singapura, anggota oposisi Partai Demokrasi Singapura.

Tepat sehari sebelum acara Pink Dot, dia menulis di laman facebooknya: “Ya, saya akan menghadiri Pink Dot dan ya saya gay/homoseksual.”

“Apakah ini akan mempengaruhi karir politik saya? Saya yakin akan ada beberapa celaan tapi itulah kekuatan dari suatu kebijakan… ketika Anda mampu mengutarakan opini Anda yang berbeda. Dan seperti yang saya katakan, untuk wacana secara bertahap, pertarungan ide lebih sehat dan publik bisa mendengar beragam opini. Dalam jangka panjang, ini sesuatu yang baik sekali.”

Ada peningkatan kesadaran dan dukungan untuk persamaan hak homoseksual..tapi perjalanan masih panjang, ujar Dr. Wijeysingha.

“Masyarakat sadar, untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik, mereka sendiri lah yang harus melakukannya. Dan Pemerintah akan mengejar ketinggalan dalam rangka mengikuti perubahan yang terjadi pada masyarakat.

Penyelenggara dan pendukung LGBT berharap tahun depan mereka dapat memecahkan rekor baru – dan kembali mendesak pembaruan Undang-undang.

“Semakin sering kita lakukan ini, semakin banyak orang sadar tidak boleh ada stigma, dan seharusnya tidak ada ketakutan,” ujar pengunjung lainnya.

 

Satish Cheney

Asia Calling/Singapura

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.portalkbr.com/asiacalling

Facebook Twitter Share on Google+