Konflik Mesir Bukan Perang Agama
Gelombang demokrasi terus bergulir di wilayah Timur Tengah. Setelah sebelumnya Libya dan Tunisia. akhir bulan lalu gelombang itu menerjang Mesir dan berujung pada turunnya Presiden Muhammad Mursi.
Krisis di Mesir kemudian menjadi isu ramai di tanah air. Banyak penceramah yang mengangkat isu krisis Mesir sebagai konflik agama. Isu perang antara umat Islam dengan orang kafir, perang antara kelompok pembela dan pejuang Islam dengan kelompok anti-Islam, perang dengan pendukung negara Barat. Pendapat semacam ini diangkat di khutbah-khutbah, kultum, hingga di jejaring sosial.
Zuhairi Misrawi, pengamat Timur Tengah menyarankan untuk hati-hati mengamati perkembangan politik di timur tengah tersebut. Sebab, transisi politik di sana sangat dinamis dan banyak terdapat konflik. “Perkembangan di Mesir yang mutakhir itu di luar dugaan karena partai pemenang pemilu Ikhwanul Muslimin yang menang dengan 52% kursi bisa ditumbangkan” ungkap alumni Universitas Al Azhar Kairo Mesir tersebut.
Lebih lanjut Zuhairi menegaskan agar masyarakat di Indonesia membedakan definisi Islamis dan Islam. Sebab konflik di Mesir tidak berlandaskan agama. “Saya Islam tapi orientasi politik saya adalah nasionalis. Ikhwanul Muslimis ingin menegakan syariat islam dan dijatuhkan oleh musuh-musuhnya yang terdiri dari kelompok-kelompok nasionalis. Orang itu harus tahu, yang setuju dengan penggulingan muslim juga salafi, Islamis juga. Juga didukung oleh Al-Azhar dan didukung Kristen Koptik. Memperbaiki proses jalannya revolusi,” ungkap Zuhairi.
Konflik ini mengakibatkan tragedi. Untuk itu, Ahmad Juwaini, Pembina Humanitarian Forum Indonesia (HFI) menekankan, bantuan mesti menggunakan kaca mata kemanusiaan. “Pandangan kami adalah kemanusiaan. Jadi, kami melepas penyebab. Kami melihat akibat ketika sudah jatuh korban, masuk rumah sakit, kita gerakan kemampuan kita untuk membantu. Prinsipnya setiap orang yang berdarah dan terluka adalah korban” jelasnya.
Berbagai pihak mencoba menyelesaikan konflik Mesir. Namun, upaya bantuan dari pihak-pihak internasional untuk penyelesaian politis tampaknya tidak mudah. Zuhairi mengatakan, Amerika dan Uni Eropa memiliki kepentingan untuk menjaga Israel. Akibatnya, bantuan dari mereka dipandang tidak netral. Sementara itu, Liga Arab dan Organisasi Kerjasama Islam terpecah. Negara arab, katanya, terpecah menjadi dua. Qatar dan turki berpihak pada IM sedangkan Arab dan UEA pada nasionalis.
“Paling aman justru Indonesia. Indonesia tidak punya kepentingan apa-apa untuk menjadi mediator. Dua kelompok jauh lebih bisa menerima karena tidak ada konsensi-konsensi” ungkap Zuhairi.
Sementara itu, bantuan kemanusiaan juga bisa dikirim untuk mengkampanyekan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan. Namun, media tampaknya lebih menyorot konflik Mesir sebagai krisis politik.
“Ekspos korban-korbannya sedikit. Nuansa politik masih banyak ketimbang kemanusiaan. Selama TV belum menyajikan yang perih biasanya masyarakat belum tergerak,” jelas Ahmad Juwaini, Pembina Humanitarian Forum Indonesia (HFI).
Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB