Home » Berita, Nasional » Meramal Nasib Parpol Islam di Pemilu 2014

Meramal Nasib Parpol Islam di Pemilu 2014



dok.Islamedia

Pada 29 Agustus nanti tepat delapan tahun Nurcholish Madjid meninggal dunia. Salah satu pemikiran pria yang akrab disapa Cak Nur ini adalah pembedaan antara agama Islam dan partai politik Islam. Ia terkenal dengan slogan, “Islam Yes, Partai Islam No”.

Lain hal, selama sepuluh kali Indonesia menggelar Pemilihan Umum sejak proklamasi, partai Islam tidak pernah absen. Apalagi sejak 1999, ketika partai boleh berasaskan selain Pancasila, partai-partai Islam tumbuh subur. Namun perolehan suara partai-partai Islam tidak pernah bisa mengulang apa yang pernah dialami Partai Masyumi dan Nahdatul Ulama pada Pemilu 1955 dahulu.

Saat itu Masyumi memperoleh suara cukup besar. Masyumi menjadi partai Islam terkuat yang memperoleh 20 persen suara. Namun, dalam realitas politik kekinian, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai Islam terus menurun. Ini bisa dibuktikan dalam perolehan suara selama beberapa pemilu terakhir. Bahkan pada survey yang digelar Lingkaran Survei Indonesia pada Oktober tahun lalu, parpol Islam terancam tidak masuk lima besarPemilu 2014.

Permasalahan Partai Islam

Tingginya suara partai Islam pada pemilu 1955 dinilai tidak semata karena alasan ideologis. Pengamat politik Alimun Hanif mengatakan, Masyumi ketika itu mendulang suara besar di daerah-daerah di luar Jawa. Menurutnya, itu merupakan bukti dari sentimen anti Jawa yang kuat. Sebab, orang di luar
Jawa banyak menilai partai nasional dan sekuler sebagai wakil elit-elit Jawa. “Sentimen Jawa non-Jawa pudar dan aspirasi daerah sudah disebarkan oleh partai-partai non-Muslim” ujar pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini.

Alasan lain yang membuat parpol Islam tidak populer saat ini adalah masyarakat tidak lagi memandang ideologi. Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq menambahkan, suara partai Islam merosot terutama karena masyarakat semakin teliti memilih partai. Masyärakat cerdas dan akan menghukum partai dan memberi hadiah partai, entah partai itu pakai bismillah atau tidak” ujarnya.

Dengan kata lain, lanjutnya, jika partai itu menyuarakan aspirasi rakyat, entah itu partai berdasarkan Islam atau tidak, masyarakat akan memilihnya. Menurutnya, partai Islam sekarang tidak bisa dibedakan dari partai lain karena program-programnya tidak beda jauh. Ia memproyeksikan pemilu 2014 bisa menjadi kuburan partai Islam. Setidaknya satu partai Islam bisa gugur jika keadaan tidak berubah.

Solusi partai Islam

Menghadapi jumlah suara yang tidak kunjung membaik, partai-partai Islam mencari berbagai cara. Partai Keadilan Sejahtera misalnya pernah mencoba untuk mencitrakan diri sebagai partai Islam yang berlandaskan pacasila seperti yang dilakukan PKB. “Gus Dur mendorong partai Islam tapi berbasis pancasila, hasilnya ketika itu PKB bisa dapat suara. Gus Dur berhasil karena ia memang pluralis. Akan tetapi PKS tidak secara asali menunjukan pluralisme. Mereka malah menciptakan kader PKS puritan. Kader PKS juga cenderung menolak pluralisme dan sekulerisme, itulah kenapa PKS tidak seperti PKB era Gus Dur” papar Alimun Hanafi.

Partai Islam dinilai perlu melakukan inovasi sesegera mungkin. Direktur Eksekutif Maarif Institute mengatakan, tanpa inovasi itu, partai Islam tidak akan mendapatkan suara yang jauh berbeda dari pemilu sebelumnya. “Partai Islam kalau mau maju mesti berubah secara radikal dengan menerima kritik” kata penggiat pluralisme ini.

Soal agama yang dijadikan alat berpolitik, Alimun Hanif mengatakan bahwa berat menyandang beban sebagai partai Islam. Namun, menurutnya, kecenderungan penggunaan agama sebagai alat mobilisasi massa oleh elit merupakan hal lumrah. Meski demikian, menurutnya partai Islam mesti berkompromi dalam praktek. “ kompromi politik adalah cara bagus untuk hindari kekerasan. Ikhwanul Muslimin di Mesir tolak kompromi” ungkapnya.

Ia mencontohkan konflik Mesir. Presiden dari partai Islam Muhammad Mursi terguling di Mesir akibat menolak berkompromi. Menurutnya, Indonesia bsa jatuh seperti Mesir kalau kekuasaan politik dimaknai perintah ilahi untuk berkuasa tanpa kompromi. Meskipu begitu, Hanafi mengatakan naïf ketika menganggap partai Islam akan hilang dari perpolitikan Indonesia. Ini karena menjadi Islam adalah salah satu cara sejumlah masyarakat Indonesia mendefinisikan dirinya.

Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB

Facebook Twitter Share on Google+