Home » Berita, Nasional » Zakat: Gaya Hidup Untuk Pengentasan Kemiskinan

Zakat: Gaya Hidup Untuk Pengentasan Kemiskinan



 

dok.istimewa

Badan Pusat Statistik pada 2000 menyebutkan terdapat 207 juta lebih warga Indonesia berstatus Islam. Banyaknya warga yang beragama islam mempengaruhi besaran zakat yang dikeluarkan saat Idul Fitri. Menurut penelitian Baznas dan Institut Pertanian Bogor, potensi besaranya, yang meliputi zakat individu dan perusahaan mencapai Rp2,17 triliun.

Direktur Komunikasi Dompet Dhuafa, Nana Mintarti mengatakan bahwa perkiraan itu mengandaikan semua penduduk muslim yang berada di atas garis kemiskinan membayar zakat secara rutin. Potensi itu tentu luar biasa karena mencapai hampir separuh dari target penerimaan Pajak Penghasilan non-migas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013.

Besarnya potensi zakat ini tentu disadari sepenuhnya oleh para amil atau pemungut zakat. Catatan lembaga Public Interest Research And Advocacy Center (PIRAC) menyebutkan lembaga zakat terus meningkatkan target penerimaan mereka setiap tahunnya. “Rumah zakat menargetkan Rp 16 miliar pada 2011. Pada 2013 menargetkan 100 miliar,” papar Ninik Anisa, Peneliti Filantropi dan Zakat PIRAC. Ia menambahkan, pengelola zakat yang sekarang berjumlah kurang lebih 600. Tentu angka itu akan menggelembung jika mencantumkan komunitas.

Peningkatan penerimaan ini juga dirasakan secara drastis oleh lembaga zakat seperti Dompet Dhuafa. Nana Mintarti kembali memaparkan bahwa dari tahun ke tahun untuk dompet Duafa ada peningkatan. Awal hanya 63 juta selama 1 tahun pada 1993. Sampai 2012 sudah terkumpul Rp175 miliar selama setahun.

Zakat dan Gaya Hidup

Peningkatan zakat ini juga merupakan akibat dari munculnya kebiasaaan menyumbang sebagai gaya hidup.

“Di tahun terakhir melakukan penelitian 98% penduduk Muslim di Indonesia ini pernah menyumbang, bahkan penyumpang infaq dan sodaqoh tidak hanya berasal dari agama Islam saja. Bahkan ke Dompet Dhuafa adalah non-muslim, di luar agama Islam. Ini menjadi tren baru,” papar peneliti Ninik Anisa.

Selain itu, badan zakat juga melakukan inovasi untuk mempermudah pembayaran zakat. “Ketika sudah ada niat, jangan biarkan lewat niat itu. Buka laptop, klik internet bisa bayar. Lagi jalan-jalan ke mall, ada konter dompet dhuafa, dia bayar. Di ATM atau phonebanking, ada pilihan,” rinci Nana Mintarti, Direktur Komunikasi Dompet Dhuafa.

Jumlah pembayaran zakat diperkirakan akan terus meningkat jika masyarakat semakin terbuka kesadarannya untuk membayar zakat. Nana mengatakan, ada salah kaprah soal pembayaran zakat di masyarakat. Masyarkat selama ini mengenal zakat hanya zakat fitrah. Zakat ini adalah sisa pengeluaran ketika selama sebulan masyarakat muslim mengerem konsumsi ketika ramadhan.

“Ada zakat mal, cara pembayaran tidak tergantung di bulan ramadhan saja, tapi pada batas kepemilikan barang setahun,” ungkapnya. Jadi, pembayaran bisa dilakukan pada bulan apa saja dalam setahun, tidak harus ketika lebaran.

Pertanggungjawaban Zakat

Potensi zakat yang luar biasa itu memiliki dampak besar dalam pengentasan kemiskinan. Untuk itu, diperlukan pengelolaan yang serius dan profesional melalui penguatan kapasitas. “Upaya penguatan kapasitas terhadap pengelola zakat harus cukup merata. Sekarang orang berpendapat mengelola zakat itu sambilan. Padahal, ini dana umat atau publik. Jumlahnya besar,” saran Nana Minarti.

Ia menambahkan, ada empat aspek akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam pengelolaan zakat. Pertama, pertanggungjawaban pada aturan hukum positif dan normatif. Kedua, pertanggungjawaban manajerial. Artinya, bagaimana zakat dikelola secara efisien dan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban dari sisi program. Apakah tepat sasaran program zakat? Empat, pertanggungjawaban proses yang mencakup indikator keberhasilan. Ini penting untuk mengukur seberapa berhasil zakat mengentaskan kemiskinan.

Untuk pengelolaan zakat oleh komunitas, Ninik Anisa, menilai diperlukan ukuran yang berbeda. Komunitas seperti masjid bisa menapaki jalan berbeda untuk pertanggungjawaban keuangan yang lebih sederhana.

“Amil-amil ini di komunitas mereka mau menuliskan siapa penyumbang dan berapa sumbangan. Lantas, hasilnya dikomunikasikan di masjid,” kata Ninik. Ia yakin masyarakat sekarang semakin kritis dalam menanggapi laporan zakat. Ia mencontohkan di Cirende, Ciputat, Tangerang Selatan, provinsi Banten. Menurutnya, mereka menerima barang-barang bekas dan mengolah menjadi sebuah toko Barbeku atau barang bekas berkualitas. Lembaga ini membuat pelaporan di setiap kegiatan.

Pertanggungjawaban pemberian zakat juga terus dikembangkan oleh lembaga-lembaga zakat. Dompet Dhuafa mempertimbangkan masak-masak program agar tepat sasaran. Cakupan program juga cukup luas. “Mulai santunan hingga program edukasi dan kesehatan. Proaktif hingga preventif. Pemberian modal usaha dan pendampingan, pemberian skill berdasarkan kelompok sasaran,” ujar Nana Mintarti. Ia memaparkan karena Dompet Dhuafa bersifat nasional, lembaga itu melakukkan pemetaan dan verifikasi ke lapangan untuk menemukan permasalahan. Lembaga zakat nasional ini bahkan tidak segan bekerjasama dengan lembaga zakat lokal agar tepat sasaran.

PIRAC juga meluncurkan panduan prinsip-prinsip agar zakat ataupun sumbangan masyarakat dikelola secara profesional. PIRAC meluncurkan Pedoman Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan di Indonesia dan kode etik filantropi media masa. Kode etik itu mengatur agar pemberian sumbangan mesti independen dan tidak menggunakannya untuk kampanye politik. Penggalang dana juga mesti memiliki izin resmi dan kompetensi sumber daya manusia.

Pemberian zakat juga mesti mematuhi prinsip non-diskriminasi. Ninik dari Dompet Dhuafa mengatakan, diskriminasi bisa terjadi berdasar agama, ras. Ia mencontohkan ada satu lembaga dari pusat datang dan membantu dari kelompok A saja.

“Karena tidak terorganisir dengan baik, ada kecemburuan sosial,” keluhnya. Prinsip non-diskriminasi ini juga menunjukan keberpihakan pada kelompok rentan dan difabel. Menurutnya, penyaluran zakat bahkan sudah ada dalam agama Islam. Untuk zakat, penerima harus berasal dari kelompok fakir, miskin, amil, orang-orang yang punya hutang karena miskin, kehabisan bekal di perjalanan, dan budak. Namun, untuk zaman sekarang, prinsip itu dapat ditafsir ulang. Contohnya, meskipun tidak ada budak, di zaman modern masih dijumpai korban perdagangan manusia. Perjalanan juga bisa dimaknai perjalanan menuntut ilmu seperti kuliah.

Pengawasan Zakat

Lantas, jika sistem itu sudah ada, bagaimana pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip di atas? Nana dari Dompe Dhuafa menerangkan, terjadi tumpang tindih dalam regulasi nasional sekarang ini.

“Tidak kondusif dan sehat. BAZNAS menjadi blunder karena menggalang dana dari publik. Konsisten saja karena wilayah Anda di tingkat regulator, penting untuk memisahkan diri dan memikirkan ulang aturan ini,” katanya.

Menurutnya, aturan pengawasan sekarang belum jelas. Ini termasuk pihak yang berhak memperkarakan dan lembaga pengaduan. Jalur hukum juga belum diketahui apakah komplain terhadap zakat mesti melalui perdata atau pidana. Ia mengusulkan proses pengawasan seperti bank profesional. Ia menyarankan BAZNAS berfungsi seperti Bank Indonesia yang hanya menjadi regulator.

Meskipun proses formal tidak ada, lembaga zakat terus diawasi oleh masyarakat. Karena zakat bersifat sukarela,.mekanisme pasar berlaku, yang dipercaya akan paling banyak mendapat donasi.

“Kepercayaan menjadi poin yang sangat penting bagi pengelola zakat. Masyarakat tidakmau tahu. Kalau dia melakukan penyelewegnan sekali saja langsung tidak dipercayai,” tandas peneliti PIRAC Ninik Anisa. Ia bahkan berseloroh pernah ada di Dompet Dhuafa donator menyumbang Rp 1.000. padahal ia mau menyumbang Rp 1 miliar. Sebab, pemberian awal itu merupakan tes kepercayaan semata.

Lembaga zakat juga saling memantau satu sama lain. Kerjasama antarlembaga zakat juga dilakukan agar penerima tidak tumpang tindih.

“Beberapa teman-teman di forum zakat sudah merencanakan, on line sistem terintegrasi di masing-masing organisasi pengelola zakat. Penerima tidak tumpang tindih,” pungkas Nana dari Dompet Dhuafa.”

 

Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB.

 

Facebook Twitter Share on Google+