Sebab Sultan HB IX Mau Jadi Orang Kedua di Bawah Soeharto
Di rubrik Jogjapedia
Soeharto mendapat kehormatan didampingi oleh Sultan HB IX saat menjabat presiden tahun 1971. Kemauan Sultan ini seperti tidak merepresentasikan ke-Jawa-an yang yang ia ucapkan bahwa ik ben een blijf in de allereerste plaats javaav (Setinggi-tingginya aku belajar ilmu barat, aku adalah dan bagaimanapun tetap Jawa). Pasalnya, ia, raja Jawa, rela menjadi orang kedua dan dipimpin oleh orang lain.
Mengomentari hal ini, Syafii Maarif ketika menghadiri acara diskusi buku Hamengku Buwono IX: Inspiring Prophetic Leader di Pagelaran Keraton bulan Juni lalu mengaku tidak heran. Sultan, ujar sejarawan itu, adalah orang dengan pergaulan yang luas dan punya karakter luar biasa. Sultan lebih memikirkan negara ketimbang harga dirinya dan selalu rendah hati.
Banyaknya cerita kepahlawanan Sultan HB IX di masyarakat Jogjakarta mempertegas komentar Syafii Maarif. Mulai dari banyaknya penyamaran yang ia lakukan untuk berkomunikasi dan membantu rakyat kecil hingga penggajian seluruh anggota kabinet Soekarno saat memindahkan pusat pemerintahan ke Jogjakarta.
Dari sudut pandang politik, kemauan Sultan ini dilakukan untuk membuat Jogjakarta tetap aman dan nyaman. Penelitian IPB berjudul Gerakan Masyarakat Sipil Masa Orde Baru di Yogyakarta menemukan bahwa pasca peristiwa Oktober 1965, tepatnya setelah Soeharto berkuasa, lahir banyak gerakan mahasiswa. Tahun 1970 di Bandung contohnya, seorang mahasiswa dianiaya taruna Akademi Polisi. Penganiayaan ini berdampak pada aksi vandalisme mahasiswa.
Sementara itu, Jogja telah menjadi basis pendidikan dengan banyaknya pembangunan institusi pendidikan pasca kemerdekaan. Sebut saja UGM (1949), Sanata Dharma (1955), IKIP (1963), atau IAIN Sunan Kalijaga (1965). Selain menjadi produk intelektual, banyaknya kampus di Jogja juga menjadi role pergerakan mahasiswa. Banyaknya gerakan mahasiswa sebagai dampak penganiayaan oleh polisi di Bandung diproyeksikan sampai ke Jogjakarta.
Untuk mencegah timbulnya huru-hara di Jogja, Sultan HB IX menerima jabatan menjadi wakil presiden. Dengan begitu, masyarakat terlebih mahasiswa tidak melakukan tindakan vandal seperti di Bandung karena rasa hormat dan menjaga nama baik Sultan. Peristiwa Malari tahun 1974 misalnya tidak membuat unjuk rasa serupa terjadi di Jogja. Selain itu, posisi Sultan dalam rezim Orba juga menjadi kontrol kekuasaan Soeharto agar tidak menampakan kekuasaan secara represif di Jogjakarta.
Namun, setelah Sultan tidak lagi menjadi wakil presiden dunia akademis Jogja geger. Tahun 1980, rezim Orba mulai menancapkan taringnya di Jogjakarta. Mereka menerapkan NKK/BKK di kampus. Sistem pengajaran diubah secara drastis, organisasi mahasiswa dibonsai, dan dengan demikian praktis Universitas hanya menjadi pabrik intelektual.