Home » Berita, Nasional » Krisis Air Melanda Jakarta

Krisis Air Melanda Jakarta



Dokumen Republika

Air bersih di Jakarta bakal menjadi barang mewah. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI hingga kini tidak mempunyai kebijakan yang jelas dalam menangani krisis air bersih. Muncul usulan Pemprov akan memberdayakan air limbah industri atau masyarakat sebagai ganti air bersih di Ibu kota.

Neraca Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 menunjukkkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diperkirakan baru mampu menyuplai sekitar 52.13% kebutuhan air bersih untuk warga Jakarta. Sisanya masih menggunakan air tanah dangkal dan dalam. Padahal, sampai tahun 2005 pemerintah daerah sudah membangun enam instalasi pengolah air minum di lima wilayah Jakarta. Namun penduduk tetap saja mengeluh kekurangan air minum.

Masa depan air bersih di Jakarta akan semakin suram jika tak dibangun instalasi pengelolaan air minum. Sepuluh tahun mendatang, ketika jumlah penduduk diprediksi menjadi 12 juta jiwa, dibutuhkan air bersih 2,1 kubik per hari. Hingga saat ini PAM masih terseok-seok memenuhi kebutuhan air warga Jakarta. Air tanah sebagai alternatif kondisinya cukup buruk.

Direktur Teknis Pam Jaya Hendry Limbong mengakui, wilayah DKI Jakarta kekurangan air bersih sebesar tujuh kubik atau 7.000 liter per detik. Jumlah itu diperkirakan bakal meningkat pada tahun 2015, yakni sekira 10 kubik atau 10.000 liter per detik. Ia juga menambahkan, wilayah cakupan pelayanan yang mampu tertampung hanya sedikit. “Kami hanya mampu menampung sekira 62 persen penduduk di Jakarta. Jadi memang belum semua warga DKI bisa kami layani secara baik,” katanya.

Ia beralasan, hal itu disebabkan lantaran jumlah instalasi yang dimiliki oleh perusahaannya juga sedikit. Saat ini kata dia, pihaknya hanya memiliki enam buah instalasi. Semua instalasi itu dibangun sejak tahun 1990-an. “Jadi sudah sekitar 25 tahun kami belum membangun instalasi baru. Ke depannya kami menargetkan untuk membangun beberapa instalasi lagi. Sehingga daya tampung yang bisa dicakup lebih luas lagi,” kata dia.

Lebih lanjut ia memperkirakan bahwa tren kebutuhan air bersih kian lama kian meningkat. Pada tahun 2015 saja, diperkirakan ada 11-12 juta penduduk yang membutuhkan air bersih. Ia berharap agar permasalahan ini mampu diatasi oleh Pemerintah Pusat, bukan hanya di Jakarta saja. “Jadi intinya beberapa wilayah saling berkoordinasi untuk menyediakan air bersih. Apalagi sumber air yang menjadi kebutuhan warga DKI itu datangnya dari luar Jakarta,” jelasnya.

Anggota Dewan SDA DKI, Jakarta Firdaus membantah adanya anggapan bahwa krisis air berlangsung baru-baru ini. Menurutnya, krisis air di Jakarta sudah berlangsung sejak 20-an tahun silam. Data ini merupakan data internal pihaknya. Ia juga menuding ketidakmandirian Jakarta untuk memproduksi air bersih menjadi biang keladinya. “Sekitar 97 persen kebutuhan air bersih didatangkan dari luar daerah,” kata dia.

Firdaus memberikan tips-tips dalam menghemat air, misalnya, tidak menyalakan kran saat menggosok gigi, mandi menggunakan pancuran, mencuci dengan menggunakan ember, hingga mencuci piring dalam jumlah yang banyak. “Air hujan juga bisa dimanfaatkan untuk bersih-bersih,” tuturnya.

Sementara itu, Aktivis Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Muhammad Reza memiliki pandangan yang berbeda soal krisis air di Jakarta. Krisis yang terjadi menurut dia, disebabkan lantaran salahnya pembangunan di Jakarta. “Atas nama investasi, percepatan, pertumbuhan, konsumsi, itu semua dikorbankan. Dan hari ini kita semua baru merasakan dampaknya. Negara kita merupakan Negara terbesar di Asia Tenggara yang memiliki kematian bayi tertinggi akibat buruknya air,” cetusnya.

Saat ini kata dia, hanya sekitar 50% keluarga Indonesia yang memiliki akses terhadap air bersih seperti termuat dalam laporan terakhir Tujuan Pembangunan Milenium terbitan Bappenas. Ia menjelaskan lebih dari separuh penduduk Indonesia tidak memiliki akses air bersih, padahal air merupakan hak masyarakat. Reza mengatakan selama ini pemerintah tidak memberikan prioritas terhadap sektor pembangunan sumber daya air.

“Sekarang undang-undang sumber daya air sangat tidak mencukupi karena tidak ada aturan pelaksananya karena memang awalnya didorong oleh Bank Dunia yang prinsipnya menjadikan air sebagai barang ekonomi jadi seolah-olah pemerintah Indonesia tak berkepentingan,” tuturnya.

Direktur Teknis Pam Jaya Hendry Limbong berharap bakal ada solusi terhadap masalah air di Jakarta. Ia memandang perlunya dibuat waduk untuk menampun air hujan. Sehingga kata dia saat musim kemarau tiba, air tampungan dari hujan ditampung melalui waduk. “Karena saya melihat Negara-negara besar di dunia memiliki banyak waduk. Sehingga kebutuhan air masyarakatnya terjamin,” tuturnya.

 

Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio

Facebook Twitter Share on Google+