Jangan Ada Sadikin di Antara Kita
Ada harapan tinggi pada keputusan pemerintah menyelenggarakan jaminan sosial bagi warganya. Pada urusan kesehatan, kekhawatiran orang tak lagi bisa berobat karena tak punya uang seolah terjawab dengan bakal hadirnya Jaminan Kesehatan Nasional. Semua orang akan punya asuransi kesehatan.
Tapi sistem jaminan ini tidaklah sederhana, apalagi bila menjangkau ratusan juta penduduk. Sehingga wajar muncul kekuatiran sistem jaminan kesehatan ini tak bakal berjalan mulus. Banyak orang merujuk pada kasus Jakarta dengan KJS (Kartu Jakarta Sehat). Untuk lingkup lebih kecil seperti Jakarta, Gubernurnya pusing oleh protes beberapa rumah sakit yang menolak pasien miskin. Kemudian disambung protes rumah sakit yang menyatakan kewalahan memberi pelayanan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial rencananya akan menjadi sarana jaminan sosial seluruh rakyat Indonesia. “BPJS mengakomodir kebutuhan masyarakat akan kesehatan karena tidak hanya mencakup pekerja formal, PNS dan TNI/Polri,” ungkap Andriko Otang dari Trade Union Rights Centre (TURC).
Selama ini, buruh atau pekerja merupakan kelompok yang paling getol dalam menuntut negara menjalankan jaminan sosial secara menyeluruh. Dengan bercanda, ia mengatakan: “Tanpa BPJS orang jadi Sadikin atau Sakit Dikit Miskin.
Karena cakupannya yang luar biasa besar, ada sejumlah persiapan yang mesti terus dibenahi sebelum Sistem Jaminan Sosial Nasional mulai dijalankan awal tahun depan. “Belajar dari penyaluran Balsem, BPJS mesti antisipasi agar mencapai seluruh penduduk,” kata aktivis YAPPIKA Hendrik Rosdinar. Menurut dia, akan terjadi diskriminasi jika ada penduduk yang tidak tercakup dalam BPJS ketika penduduk lainnya tercakup.
Selain itu, penyaluran data dari Askes dan Jamsostek ke penyelenggara BPJS mesti diperhatikan. Karena BPJS akan menjadi penyelenggara jaminan kesehatan yang sebelumnya dicakup oleh PT. Jamsostek dan Askes. Ia menambahkan, pemerintah juga bertanggungjawab untuk melakukan sosialisasi demi suksesnya program ini. Penggiat TURC Andriko Otang menambahkan, fasilitas kesehatan mesti ditambah untuk menjalankan proyek BPJS.
Sementara itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional mengaku terus menyiapkan berjalannya BPJS sebaik mungkin. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Bambang Purwoko mengatakan, sosialisasi terus dilakukan dengan melibatkan pihak pengusaha, pemerintah dan serikat buruh. Selain itu, diskusi juga digelar di kampus-kampus untuk sosialisasi program ini. Ia menambahkan, Dinas Komunikasi dan Informasi di berbagai daerah juga terus melakukan sosialisasi. Namun, ia mengkritik sikap Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
”Dengan membandingkan pada program KB yang berhasil akibat sosialisasi yang gencar mulai dari presiden hingga RT, sayangnya presiden SBY yang belum pernah menyampaikan pernyataan soal jaminan sosial atau BPJS,” kata Bambang Purwoko. Ia berharap dengan perhatian lebih dari pemerintah, program ini bisa berhasil dalam sosialisasi sehingga tidak ada simpang siur pemahaman dalam pelaksanaan.
Untuk mencakup peserta sebanyak mungkin, pemerintah membuat regulasi pendaftaran yang memudahkan dengan memperhitungkan peserta berdasarkan nama pekerja, bukannya perusahaan.
”Dengan begitu, pekerja perusahaan bisa mendaftar secara perorangan. Namun, pemberi kerja wajib memenuhi kewajiban financial,” papar pengajar di Universitas Pancasila ini. Bambang menuturkan, warga negara yang mampu akan diwajibkan membayar iuran agar anggaran negara tidak jebol. Namun, negara akan membayar iuran bagi warga negara yang tidak mampu.
DJSN menyarankan pemerintah daerah untuk menambah anggaran. Sebab, dengan BPJS, biaya kesehatan menjadi tanggungan pemerintah pusat dan anggaran jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) bisa dialihkan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas kesehatan.
Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio