Home » Jogjapedia » Dilarang Nikah di Bulan Suro

Dilarang Nikah di Bulan Suro



dokumen konsultasisyariah.com

Bagi orang Jawa, kalender penanda pergantian tahun mereka disebut sebagai Suro. Dalam tradisi ini, berbagai laku digelar sebagai sarana untuk instropeksi diri dan mendekatkan diri pada sang pencipta. Beberapa laku yang dijalani seperti labuhan, merti dusun, hingga yang paling jamak dilakukan oleh masyarakat Jogja dan Solo pada khusunya, yakni mubeng benteng. Kesakralan bulan Suro hingga saat ini masih dipegang teguh. Masyarakat bahkan enggan menggelar acara-acara besar dan sakral lain seperti halnya pernikahan.

Hajatan yang digelar saat Suro memang sangat dihindari. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan kepercayaan ini dimulai. Namun terdapat beberapa cerita atau mitos yang melatari hal ini seperti kisah penguasa laut selatan Nyi Roro Kidul. Konon, setiap menjelang Suro Nyi Roro Kidul menggelar sebuah hajatan besar-besaran guna merayakan pernikahan. Oleh karena itu jika ada orang yang berani mengggelar pesta berbarengan dengan hajatan Roro Kidul akan dikutuk dan dirundung duka berkepanjangan.

Dalam buku Perspektif Jawa Islam yang ditulis oleh Muhammad Sholikin, orang Jawa memandang bulan Suro sebagai bulannya Tuhan yang sudah selayaknya dimuliakan. Sehingga manusia dipandang tidak layak atau terlalu lemah untuk mengadakan hajatan di bulan yang suci ini. Menariknya, dalam masyarakat Jawa juga terdapat pandangan mengenai mereka yang dipandang kuat dan mampu meyelenggarakan hajatan saat Suro yakni tidak lain ialah raja atau sultan. Sehingga ada anggapan bahwa bulan Suro adalah bulan hajatan bagi keraton, sehingga jika ada rakyat biasa yang berani mengadakan acara serupa akan kualat.

Sedikit pembuktian mengenai kepercayaan ini, jika kita menyewa jasa penyelenggara pernikahan saat Suro pasti kebanyakan akan ditolak. Banyak dari perusahaan jasa tersebut yang menolak secara halus, bahkan berbohong jika alat yang disewakan sedang dipakai acara lain. Tidak percaya? Sila buktikan sendiri.

Semuanya tetap dikembalikan pada diri kita masing-masing. Sejatinya, dalam pandangan agama apa pun semua hari merupakan hari yang baik. Di satu sisi, adalah kewajiban kita sebagai generasi muda untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal sebagai penanda suatu identitas.

 

Facebook Twitter Share on Google+