Raja Lawan Arus Globalisasi di Sungai Code
Merayakan tahun baru Jawa yang jatuh pada 1 Suro, warga Brontokusuman menggelar kirab budaya bertemakan “Raja Melawan Arus” Selasa (5/11) sore di bawah jembatan Tungkak. Tema ini sengaja dipilih sebagai representasi perlawanan budaya lokal terhadap budaya yang masuk ke Jogjakarta, khususnya ke kampung Brontokusuman yang merupakan salah satu kampung wisata.
Kirab ini dimulai dengan rombongan Bergodo mengangkat raja dengan tandu berjalan melawanarus kali Code. Didepan iringan raja, tetua kampung membacakan doa sembari menabur bunga sepanjang perjalanan melawan arus sungai.
Kepala Desa Brontokusuman, Pardian menerangkan, kirab ini pertama kalinya diselenggarakan di Brontokusuman. Selain untuk nguri-uri kebudayaan. Kirab ini juga sebagai simbol perjuangan serta perlawanan budaya lokal terhadap budaya asing yang mulai masuk ke sendi-sendi bangsa.
“Kirab Bergodo Kusumengyudha dan merti Tumpeng Robyong ini pertama kali kami lakukan, tema yang diangkat adalah Raja Melawan Arus yang menjadi simbol perlawanan terhadap budaya,” jelas Pardian.
Menurut Pardian, pembentukan Bergodo Kusumengyudha ini diharapkan menjadi langkah awal bagi warga Brontokusuman untuk turut serta mengawal kelestarian kebudayaan Jogja.
“Daerah Brontokusuman banyak kampung wisata, secara langsung kami bersinggungan dengan wisatawan luar yang membawa budaya baru, selain itu ini juga bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan karena banyak kampung wisata disekitar sini seperti di prawiro taman,” ujar Pardian yang memerankan diri sebagai raja dalam kirab bertema “Raja Melawan Arus”.
Kirab budaya ini mendapat sambutan baik dari sejumlah warga. Hal ini terlihat dari antusiasme warga yang datang untuk menyaksikan proses kirab budaya tersebut. Salah satunya adalah Widiyati seorang ibu rumah tangga yang menyempatkan diri untuk melihat kirab di kampungnya tersebut. Widiyati melihat kirab budaya ini berbeda dengan kirab yang biasa dilakukan.
Menurutnya tema raja melawan arus harus menjadi refleksi bagi warga untuk terus merawat kebudayaan. Selain itu, ia berharap dibentuknya Bergodo Kusumengyudha ini bukan sekedar simbol saja. Tapi harus direalisasikan dalam kehidupan.
“Semoga Bergodo ini bukan hanya simbolisasi perlawanan saja, tapi benar-benar menjadi perlawanan terhadap permasalahan yang dihadapi masyarkat seperti kemiskinan,” tukas Widiyati.