Home » Jogjapedia » Lima Pahlawan Asal Jogjakarta

Lima Pahlawan Asal Jogjakarta



Dokumen Istimewa

Jogjakarta punya banyak tokoh yang telah atau pantas diangkat menjadi pahlawan. Namun para tokoh tersebut di Jogja sendiri masih kalah tenar dibanding kebesaran nama Sultan HB IX atau Diponoegoro. Padahal mereka tidak kalah berjasa bagi Jogja dan nusantara. Mereka patut diingat, dan karena hari ini bertepatan dengan Hari Pahlawan tidak ada salahnya mengingat para tokoh tersebut. Berikut ini adalah lima di antaranya.

Soerjopranoto (1871-1959)

Soerjopranoto adalah kakak Ki Hajar Dewantara. Ia anak Pangeran Haryo, putra Sri Pakualam III. Soerjopranoto adaah salah satu tokoh pergerakan. Ia adalah seorang intelektual yang terkenal setelah menempeleng atasannya, seorang Belanda, karena membela temannya yang pribumi.

Awal mula pergerakannya dimulai ketika ia tengah mengurus sekolah Ki Hajar Dewantara di Jakarta. Ia menitipkan surat yang berisi ajakan pembentukan organisasi bernama Pirikunan Jawi (sebelum Boedi Oetomo) pada Ki Hajar untuk diberikan pada Stovia di Jakarta. Namun usulan itu tidak ditanggapi oleh Stovia.

Kembali ke Jogja setelah dibuang ke Gresik oleh Belanda, Soerjopranoto bergabung dengan Boedi Oetomo (BO). Perjuangannya bersama Boedi Oetomo berlangsung selama tujuh tahun. Ia keluar dari organisasi pada tahun 1915 karena menganggap BO tidak merakyat. Ia lalu mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (Barisan Kerja A.D). Organisasi ini bergerak di bidang ekonomi yang anggotanya diberi pangkat seperti militer. Ia juga mendirikan banyak sekolah rakyat dan mengentaskan buta huruf di Jogjakarta.

Soerjo juga terdaftar menjadi anggota Sarikat Islam yang konsen pada pergerakan buruh. Ia juga memimpin sejumlah koran, yaitu Fajar, Mustika, Pahlawan, dan Suara Berkelahi. Gara-gara tulisannya, ia beberapa kali dijebloskan ke penjara oleh Belanda. Tahun 1932-1936, ia ditepikan sementara oleh SI karena membongkar korupsi di tubuh partai.

Setelah kemerdekaan Soerjopranoto sempat membikin dua buku. Buku pertama soal Sosialisme dan kedua tentang tata negara. Soekarno menganugerahinya gelar pahlawan tahun 1959.

Nyi Condrolukito Waranggana (1920-1997)

Penyuka musik Jawa atau penggemar Mocopatan pasti sudah tidak asing lagi dengan Nyi Condrolukito Waranggana. Di bidang tarik suara Jawa, ia adalah legenda. Ia sudah membuat 200 rekaman kaset dan dua piringan hitam dalam kurun waktu 30 tahun kariernya.

Terlahir dengan nama Turah di Desa Pogung, Sleman, ia terkenal di Keraton dengan suara emasnya. Sultan Hamengkubuwono VIII mengganti namanya menjadi Padasih. Setelah diperistri seorang penari Keraton, barulah namanya menjadi Condrolukito.

Di era kemerdekaan, Condrolukito kerap mengisi program acara kesenian Radio Republik Indonesia (RRI). Ia menjadi penyanyi tembang Jawa di tengah gempuran musik-musik Eropa yang masuk ke Indonesia.

Muhammad Saleh (1908-1966)

“Silakan bunuh saya dengan keris ini jika saya berkhianat pada saudara-saudara,” teriak Muhammad Saleh di hadapan ratusan rakyat Jogja. Peristiwa itu terjadi tatkala ia tengah menggelar perundingan dengan Jepang di Gedung Negara. Di tengah perundingan, ratusan massa di luar gedung meneriakan nama Saleh. Mereka tidak percaya pada kader Muhammadiyah ini. Janji Saleh dengan keris terhunus tersebut membuat kepercayaan tersebut muncul.

Saleh bukan asli Jogja. Ia lahir di Sumenep, Madura pada 1908. Meski demikian, ia mengabiskan separuh hidupnya berjuang di Jogjakarta. Ia mengikuti Jenderal Soedirman dan terlibat penyerbuan markas Jepang di Kota Baru setelah Jepang tak mau angkat kaki dari Jogja setelah perundingan.

Ia memiliki latarbelakang pendidikan sebelum bergabung dengan Jenderal Soedirman di militer. Karena latar belakan itu pula ia bersama Soedarisman Poerwoekusumoe (Walikota Jogja 1947) mendirikan Universitas Gadjah Mada pada 1946. Ketika wafat, keluarga menolak ia dikuburkan dengan cara militer. Keluarga lebih memilih ia dikuburkan sebagai orang Muhammadiyah di samping K.H. Ahmad Dahlan.

Wahidin Sudirohoesodo (1852-1917)

Ia lahir dan wafat di Sleman. Wahidin Sudirohoesodo adalah penggagas berdirinya organisasi Boedi Oetomo. Ia tidak terlalu banyak mengikuti kegiatan politik Boedi Oetomo. Sebagai Dokter lulusan Stovia, Wahidin Suedirohoesodo kerap memberi pengobatan gratis bagi rakyat. Ia juga bersuara agar rakyat diberikan pendidikan seperti halnya anak pejabat Belanda atau anak keluarga Keraton.

Siti Walidah (1872-1946)

Siti Walidah lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan. Ia adalah istri dari pendiri organisasi islam Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Bersama suami, ia mendirikan organisasi bernama Sopo Tresno yang khusus membahas tentang isu-isu perempuan pada 1914. Tiga tahun berselang, ia mengganti nama organisasi menjadi Aisyah yang diambil dari nama salah seorang istri Nabi Muhammad.

Aisyiah bersama Siti Walidah resmi menjadi perkumpulan perempuan di Jogja yang mendiskusikan agama dan isu-isu perempuan. Mereka menolak adanya kawin paksa dan mendirikan sekolah dan asrama khusus perempuan. Gagasan yang paling radikal bersama Aisyah kala itu adalah soal hubungan suami-istri. Istri, katanya, bukan pelayan suami melainkan mitra.

Di era revolusi, Soekarno dan Soedirman kerap berdiskusi bersama Siti Walidah. Rumahnya juga dijadikan posko makanan bagi tentara. Wafat pada 31 Mei 1946, Siti Walidah dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman.

Facebook Twitter Share on Google+