Home » Jogjapedia » Mengintip Pelahiran Sekaten dan Pasar Malam

Jogjapedia

Mengintip Pelahiran Sekaten dan Pasar Malam



Sekaten Tempo Dulu (Dokumen Penataanruang.net)

 

Penyebaran islam di Jawa barangkali bisa dikatakan sebagai awal mula pelahiran Sekaten. Nama Sekaten sendiri diambil dari bahasa arab, ‘Syahadatain’ yang berarti dua kalimat syahadat. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sekaten diambil dari nama gamelan Sunan Giri, yaitu Sekati.Keduanya sama-sama menjelaskan bahwa bahwa penyebaran agama islam di tanah jawa membidani kelahiran Sekaten yang ditandai tabuhan gamelan dan ajakan bersyahadat.

Waktu itu, Sunan Kalijaga, adalah seorang islam yang masih menghargai kebudayaan jawa hindu di Demak. Ia memadukan kebudayaan Jawa dan islam. Berbekal gamelan warisan Sunan Giri bernama Kyai Sekati dan Guntur Madu, Kalijaga mendekati rakyat agar memeluk islam.

Di lingkungan Masjid Agung, ia memukul gamelan. Laras demi laras ia mainkan. Begitu juga dengan laras pelog karya Sunan Giri. Caranya efektif. Rakyat di sekitaran masjid menghampiri suara gamelan. Mereka menyukai apa yang Kalijaga lakukan. Kabar dimainkannya gamelan tersebar. Penduduk mulai banyak yang berdatangan ke masjid menikmati suara Kyai Sekati yang dipukul Sunan Kalijaga.

Lalu, setelah berkumpul, Kalijaga mulai berdakwah. Ajaran islam ia sampaikan di tengah suara gamelan dan tarian penduduk. Memakai percampuran budaya, Kalijaga menyebar islam dengan mudah di tengah banyaknya penduduk. Ia mengajarkan paham dan mengajak masyarakjat yang berkumpul untuk bersyahadat. Masjid semakin ramai dengan kedatangan para pedagang yang memanfaatkan ini untuk ngalap berkah. Seketika, masjid Agung bertambah fungsi. Tidak hanya untuk tempat ibadah atau menari, tapi jadi tempat proses jual beli.

Perpaduan ini melahirkan budaya baru di tanah Jawa. Peringatan Maulud Nabi Muhammad dirayakan dengan gaya seperti di atas. Bahkan semakin besar dan dibuat protokol oleh Kerajaan Demak hingga berpuncak pada tanggal tertentu. Namun, sekaten pada awalnya belum dibarengi dengan adanya pasar, melainkan tradisi perayaan maulud nabi. Sekaten, disebut pasar setelah menjamurnya para pedagang—dari dalam atau luar kerajaan yang memanfaatkan upacara ini. Ini lah awal mula upaara Sekaten beriringan dengan adanya pasar malam seperti saat ini.

Tradisi ini terus berlanjut hingga berdirinya Keraton Jogjakarta. Upacara Sekaten yang diikuti pasar hingga malam hari dirayakan tiap harinya. Kedatangan Rafless ke Batavia abad ke-17 mengaburkan peran Sekaten sekaligus memasifkan adanya pasar malam hari. Bermula di Gambir, Rafles membuat pasar malam besar dan terpusat. Pasar malam ini memamerkan produk Eropa dan lokal sekaligus enjadi pertemuan dua kebudayaan.

Model ini kemudian diikuti oleh kota-kota besar lainnya. Begitu juga di Jogja dan Solo, di mana pasar malam besar dibuat bersamaan dengan pasar yang mengiringi Sekaten. Kepergian Inggris semakin membuat pasar malam semakin besar dan menjamur. Kolonial Belanda, memanfaatkan warisan Inggris di Batavia sebagai perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina II tiap tahunnya. Di Batavia, pasar malam besar ini diberi nama Oranje Bal. Oranje Ball, merupakan pasar malam besar. Pasar ini menarik perhatian dengan sejumlah dagangan dan pameran barang oleh pihak Hindia Belanda.

Model ini juga diikuti oleh sejumlah pemerintah kolonial daerah. Mereka kemudian membuat pasar malam yang mirip dengan Oranje Ball di pusat pemerintahan atau kekuasaan. Di Jogja dan Solo, pasar malam ini kemudian dibuat di dekat Keraton dan menumpang acara upacara sekaten. Ditumpanginya Sekaten bisa dilihat sebagai pertempuran kuasa. Meski terlihat akur, keduanya menjadi simbol kuasa. Sekaten, meski diperingati sebagai perayaan Maulud Nabi, tak ayal adalah usaha penampakan kuasa Keraton untuk masyarakat. Penampakan kuasa ini kemudian ditimpal oleh penampakan kuasa dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu pasar malam memeringati ulang tahun Wilhelmina.

Sementara itu muncul pasar malam lainnya di luar pusat kekuasaan. Di pelosok daerah, rakyat juga membuat pasar di malam hari sebagai bentuk perayaan panen atau hari besar lainnya. Gamelan, tarian, dan bentuk kebudayaan daerah lainnya muncul tanpa diiringi ceramah atau deretan aturan lainnya.

Upacara sekaten dengan pasar malam yang berisi pedagang dan hiburan semakin massif pasca revolusi, terlebih ketika Soeharto berkuasa. Pasar malam menjadi rangkaian dari upacara sekaten. Ini tidak bisa dilepaskan dari peran Ny. Tien Soeharto. Pasca 1965, banyak ditemukan tulang korban pembantaian Orba terhadap anggota atau simpatisan PKI. Di Bali, penemuan ini lalu dihancurkan dengan memanfaatkan upacara Nyapuhan.

Pasca peristiwa ini Tien Soeharto mewacanakan pemantapan spiritual pada pejabat dan seluruh elemen masyarakat. Lalu pemerintah melakukan perbaikan makam dan jalan, juga pemasifan upacara-upacara adat di berbagai daerah. Sekaten menjadi salah satu upacara yang difavoritkan oleh Orba sekaligus menjadi anomali. Seperti yang sudah diketahui bahwa Orba merupakan rezim yang sensitif. Orba tidak menghendaki adanya ketidakteraturan di masyarakat. Dalam upacara-upacara, mereka melarang adanya bagian rebutan yang berpotensi melahirkan ketidakteraturan dalam masyarakat.

Rebut gunungan dalam upacara sekaten. (Dokumen Discover Indonesia)

 

Meski demikian, Sekaten tidak menghilangkan upacara rebutan, yang dikenal dengan Upacara Grebeg Gunungan Sekaten setiap 12 Rabiul Awal. Sedangkan pasar malam yang mengekor di belakang Sekaten selama lebih dari satu bulan dibuat besar-besaran. Tidak hanya menjajakan jajanan pasar, kuliner, atau pakaian melainkan juga ditambahi dengan aneka hiburan untuk rakyat. Tentu saja untuk membikin masyarakat lupa akan peristiwa berdarah 1965

Meminjam definisi kebudayaan Raymond Williams, bahwa kebudayaan adalah cara pandang, atau cara hidup masyarakat dalam periode tertentu oleh kelompok tertentu dapat dikatakan bahwa Sekaten dan pasar malam Sekaten merupakan hasil kebudayaan yang dilakukan dengan tujuan yang berbeda-beda. Perubahan ini didasarkan ada kepentingan kelompok tertentu dengan tujuan politisnya. Sunan Kalijaga, dengan tujuan islamisasi, Raffles dengan tujuan percampuran kultural, Kolonial dan Keraton dengan tujuan perepresentasian kuasa Ratu dan pejabat Keraton, serta Orba dengan tujuan pelupaannya.

Facebook Twitter Share on Google+