Home » Jogjapedia » Sepeda Onthel, Simbol Kelas di Jogja Tempo Doeloe

Jogjapedia

Sepeda Onthel, Simbol Kelas di Jogja Tempo Doeloe



Soekarno dan Fatmawati menaiki onthel berkeliling sekitar pabrik madukismo pada 1955. (Dokumen Johnny A. Ganda - Photographer of IPPHOS)

 

Peneguhan kuasa ke sebuah wilayah kerap sukses dengan menggunakan dua cara. Pertama, melalui wacana dan kedua melalui besi atau baja. Cara kedua, dengan baja, sering dilakukan pemerintah kolonial untuk makin meneguhkan kekuasaanya di nusantara. Invasi baja di abad ke-18 tak cuma berupa senjata namun juga alat transportasi. Sepeda salah satu cotohnya.

Onthel, begitu warga Jogja menyebutnya dari dulu hingga sekarang. Dalam Anak Semua Bangsa, Pram menengarai onthel mulai masuk ke nusatara pada awal abad ke-20. Dalam sumber lain dikatakan onthel masuk ke nusantara pada 1890, dua tahun setelah John Dunlop menyempurnakan desain sepeda buatan John Kemp Starley .

Sepeda jadi primadona pada awal abad ke-20 di Eropa. Hal ini memantik Belanda membuat produksi sepedanya sendiri. Puluhan pabrik berdiri dengan merk seperti Fongers, Batavus, atau Sparta. Nusantara, yang menjadi daerah koloni jadi target pengiriman sepeda dari Belanda. Sejumlah kota seperti Batavia dan Jogjakarta menjadi daerah pengiriman.

Tidak sembarang orang bisa menaiki onthel. Hanya pejabat Belanda dan kaum bangsawan yang bisa menungganinya lalu memamerkannya ketika vakansi keliling kota. Penunggang onthel pada masa itu bisa dipastikan hanya orang-orang kaya. Makin banyaknya borjuis nusantara dan orang Belanda pemakai onthel menjadi penegas perbedaan kelas di Jogjakarta. Siapa yang naik onthel punya posisi sosial yang lebih tinggi dibanding rakyat.

Pasca revolusi, onthel tak lagi diminati para borjuis. Pergeseran simbol kelas ini adalah seperti yang dikatakan antropolog, Bronislaw Malinowski tentang teori kebutuhan. Kebutuhan manusia dari waktu ke waktu semakin canggih dan menjadi derivasi dari berbagai kebutuhan dasar. Kebutuhan manusia selalu berkembang dan tidak jumud. Makin berkembangnya motor dan mobil merangsang hasrat kebutuhan para borjuis lokal akan memersingkat waktu dan lagi-lagi sebagai pembeda kelas.

Onthel pun disingkirkan. Tak lagi jadi alat transportasi, onthel hanya jadi semacam alat rekreasi. Seperti yang pernah dilakukan Soekarno pada 1955 ketika berkeliling sekitaran Madukismo bersama Fatmawati menunggangi onthel.

Seiring dengan itu, harga sepeda onthel buatan Belanda di Jogjakarta menurun tajam. Terlebih lagi dengan datangnya produk plus onderdilnya dari Cina dan Jepang sejak 1958. Kondisi ini membuat sepeda onthel terjangkau oleh rakyat kecil. Akibatnya onthel pun banyak dipakai oleh rakyat. Dan lagi-lagi menjadi alat pengukur status sosial di masyarakat, bahkan hingga kini.

Facebook Twitter Share on Google+