Home » Berita, Jogja » Ruang Terbuka Hijau di Jogja Cuma Hiasan

Jogja Siaga Banjir

Ruang Terbuka Hijau di Jogja Cuma Hiasan



Dokumen Istimewa

SK Gubernur no.317/Kep/2013 menyatakan bahwa Jogjakarta Siaga Darurat Bencana Banjir dan Tanah Longsor. Curah hujan tinggi mengakibatkan sejumlah wilayah di Kota Jogja banjir. Hujan juga sempat memantik letusan freatik merapi dan longsor.

BPDB bertindak. Mereka segera memetakan wilayah rawan banjir dan longsor. Juga menyiapkan pos dan bahan makanan logistik. “Ada 48 anggota tim yang sudah siaga piket, pos-pos evakuasi sudah kami siapkan, logistik juga sudah kami siapkan,” kata Gatot, perwakilan BPDB dalam jumpa pers Rabu (18/12) lalu.

Persiapan dan SK ini mendapat tanggapan dari Dr.Dyah Widyastuti S.T.M CP., ahli tata ruang kota UGM. Menurutnya, persiapan dan kebijakan tersebut merupakan langkah jangka pendek. Harusnya, ujarnya, ada langkah jangka panjang untuk mengantisipasi banjir.

Dyah mencontohkan salah satu langkah yang bisa diambil adalah mengembalikan fungsi dan memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ia melihat bahwa RTH di Jogja ini sedikit sekali. Bahkan tidak berfungsi menyerap air hujan ketika hujan deras.

“Memang ada beberapa RTH di wilayah tertentu, seperti di pinggir jalan. Tapi fungsi ekologinya nggak jalan. RTH cuma sekedar artifisialnya saja. Harusnya dikembalikan fungsinya dan diperbanyak,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (20/12) sore.

Banjir Adalah Persoalan Logika

Masalah tata ruang kota di Jogjakarta adalah persoalan kompleks. Pengelolaan tata ruang bernegosiasi dengan kebutuhan penduduk dan topografi serta iklim dari suatu wilayah.

Jogjakarta pun mengalami hal demikian. Penambahan jumlah penduduk memaksa adanya pengubahan tata ruang. Lahan pertanian disulap jadi perumahan. Tanah resapan diaspal dan daerah aliran sungai dipersempit. Semua demi memenuhi kebutuhan penduduk yang seperti Milanowski katakan, yaitu semakin bertambah sesuai zaman dan tak jumud.

Dyah membenarkan hal tersebut. Pengelolaan tata ruang kota Jogja pincang, sebab hanya memfasilitasi kebutuhan penduduk. Tata ruang yang dibentuk oleh Pemkot tidak mempertimbangkan faktor cuaca.

“Banjir itu sederhana, logika. Air menuju ke tempat yang lebih rendah. Tapi, belum sampai ke laut sudah banjir. Pohon dan tanah yang bisa meresap hilang diganti aspal dan perumahan penduduk. Sementara itu aliran sungai tertimbun pasir hasil letusan Merapi,”

Oleh karena itu, Dyah mengulangi bahwa RTH sangat diperlukan. Tidak hanya berfungsi artifisial namun juga ekologi. Selain itu, ia mengatakan ada hal yang bisa meminimalisir banjir. Pertama, membangun RTH yang luas. Ia mengusulkan daerah Kridosono dialihfungsikan menjadi RTH. Kedua, adalah penambahan anggaran untuk memperbaiki fasilitas dan pembuatan drainese buatan yang proporsional.

“Misalnya seperti di Jerman. Pajaknya tinggi, tapi masyarakatnya menikmati fasilitas sesuai biaya yang dikeluarkan. Aman. Jogja masih belum terlambat. Tergantung Pemkot berani nggak bikin hal itu,” pungkasnya.

 

 

Facebook Twitter Share on Google+