Home » Interaksi » Mengharamkan Mengucapkan Selamat Natal Itu Keji

Interaksi

Mengharamkan Mengucapkan Selamat Natal Itu Keji



Dokumen Istimewa

Jelang natal jejaring sosial diramaikan dengan kata “haram”. Di Twitter, Facebook, bertebaran ayat Al-Quran yang ditafsirkan oknum tertentu untuk menyebar kebencian. Muslim haram mengucapkan selamat natal pada umat nasrani. Barang siapa yang mengucapkan, ia telah mengakui dan rusak akidahnya.

Penafsiran hadist atau ayat Al Quran yang mengaramkan lalu mengkafirkan muslim yang mengucapkan selamat natal merupakan tuduhan keji. Penafsirannya menyalahkan penafsiran lain sekaligus mampu merusak relasi sosial antar umat beragama di Indonesia. Tuduhan itu juga telah melangkahi hak prerogatif Allah.

Musa pernah dimarahi karena melangkahi hak ini. Waktu itu dia memarahi dan mengharamkan seorang pengembala yang berandai-andai memijit dan menyeduhkan minuman ketika Allah bangun tidur. Jibril, atas perintah Allah, turun dan memarahi Musa atas tindakannya.

Tiap orang memang berhak menafsirkan sesuatu.Pun dengan hadist atau ayat Al Quran. Saya meyakini benar bahwa penafsiran terhadap teks memengaruhi pemikiran atau perilaku seseorang ketika menjalani hidup. Namun penafsiran, dalam hal ini pada Al Quran dan hadis, adalah untuk pedoman diri sendiri. Bukan digunakan untuk menuduh atau menghakimi.

Mengucap selamat hari raya pada umat agama lain masuk dalam ranah sosial untuk memperkuat silaturahmi. Mengucap selamat natal juga termasuk ibadah muamallah, yaitu Ibadah yang berkaitan dengan masalah keduniaan dan kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam berhubung dengan sesama manusia. Ibadah ini dilakukan selama tidak ada larangan tegas oleh Allah dan rasulnya.

Saya tidak menemukan larangan yang tegas dalam Al Qur’an untuk mengucap selamat natal. Terlebih pengharaman atasnya atau pengkafiran manusia yang mengucap natal. Nabi pernah bersabda,

“Bila dalam agama (akidah/mahdhah) Anda tirulah saya. Tapi dalam urusan dunia Anda (teknis muamallah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda”

Dari hadist tersebut saya menafsirkan bahwa mengucapkan selamat hari raya pada umat agama lain bukan kegiatan agama. Bukan ibadah vertikal atau mahdho. Itu dilakukan murni untuk memperkuat silaturahmi antar manusia melihat adanya kebutuhan untuk menjaga relasi sosial dalam realitas kekinian.

Dalam penafsiran yang lebih ekstrim, Quraish Shihab dalam 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, memaparkan bahwa dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Lebih lanjut Quraish Shibah menjelaskan bahwa larangan mengucapkan selamat natal dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya.

Saya sepakat dengan Quraish Shihab. Jangan-jangan adanya pelarangan mengucap selamat natal karena kekaburan akidah para penyebar wacana. Atau jangan-jangan penyebaran itu didasari pada kebencian terhadap suatu hal yang berbeda dengan dirinya sendiri. Semua hanya Allah yang tahu.

Di akhir tulisan saya ingin mengutip ayat Al Maidah ayat 8. “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil”

 

Muhammad Aria Ahimsa

Mahasiswa FBS UNY

Facebook Twitter Share on Google+