Home » Jogjapedia » Keraton Dikelilingi Candu di Abad ke-19

Jogjapedia

Keraton Dikelilingi Candu di Abad ke-19



Dokumen i.imgur

28 Desember 1811. Sultan Hamengkubowo II membuat Raffles naik darah. Sultan dianggap membangkang pada kerajaan Inggris dengan menolak menyerahkan Bandar dan pasar yang dikuasainya. Crawfurd Mack dalam Sultan Country mengungkap alasan penolakan Sultan. Sultan, tulisnya, sebagaimana dikutip Peter Carey lewat Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa enggan kehilangan sumber pendapatan terbesar bagi Keraton.

Sejak 1755, Keraton memasrahkan pengelolaan gerbang tol di bandar dan pasar pada orang-orang Cina. Keraton memungut pajak dari banyaknya barang yang masuk ke daerah Jogjakarta. Hingga awal abad ke-19, gerbang ini menghasilkan 40 persen dari seluruh pendapatan Keraton. Inilah yang membuat Raffles sangat tertarik menguasai bandar dan pasar yang dikuasai Sultan.

Penolakan Sultan berbuah penyerangan orang-orang Inggris ke Keraton enam bulan setelahnya. Tentara Inggris mengamuk. Bandar, pasar, dan pos penarikan pajak dibakar. Orang-orang Cina, penyewa setia tol Keraton tak luput dari sasaran. Rumah-rumah mereka di Prambanan dihancurkan. Bea cukai diberondong senapan. Mereka diserang karena dianggap memengaruhi Keraton menolak tawaran Raffles.

Keraton tak kuasa membendung serangan Inggris. Sultan menyerahkan pengelolaan tol bandar dan pasar ke Inggris. Raffles kemudian membuat kebijakan sewa tanah. Sementara tol kembali dipasrahkan pada orang-orang Cina untuk dikelola.

Pada 1816 Inggris dipaksa angkat kaki dari Jawa karena Konvensi London mengembalikan kekuasaan Belanda di tana Jawa. Perginya Raffless menyisakan masalah bagi Belanda. Sistem sewa tanah yang gagal menyisakan hutang pada Perusaan Hindia Timur. Dari sana Belanda kemudian memanfaatkan tol di bandar dan pasar sekitar Jogjakarta. Sebab, pajaknya besar dan cepat menambal kebolongan keuangan. Belanda mengimpor candu dari Bengal dan menaikan harga pajak di gerbang tol. Lagi-lagi orang Cina kembali dipercaya mengurus tol.

Kebijakan ini lumayan efektif untuk menutup lubang ekonomi yang ditinggalkan Raffles. Perdagangan candu membuat penghasilan pajak naik lima kali lipat. Peter Carey mencatat terdapat 372 tempat yang mendapat izin Sultan menjual candu. Sebagian besar di sekitar wilayah Keraton. Orang-orang Cina masa itu dikenal sebagai pedagang candu. Selain memasok barang ke tempat-tempat resmi, mereka juga mengecerkannya ke pedagang hingga petani di Jogja.

Sebenarnya candu masuk ke Jogjakarta sejak 1802. Namun, pada saat itu penjualan dan perkembangannya belum berlipat ganda seperti sepuluh tahun sesudahnya. Meluasnya perdagangan candu sejak 1812 di Jawa dicatat oleh van Sevenhosen. Candu, tidak hanya dinikmati kalangan atas saja, melainkan juga buruh pasar, pengangguran, dan pedagang kecil di sekitar Keraton.

Harga segumpal tebakau yang dibubuhi candu 76 miligram sebesar satu setengah sen. Nominal tersebut sama halnya dengan upah buruh pasar dalam satu hari. Banyaknya pekerja penikmat candu tiap harinya menambah kebutuhan stok barang. Situasi di Jogjakarta ini memancing perebutan perdagangan candu di Eropa. Setelah direbut oleh orang-orang Eropa, di sekitar bandar dan pasar dibuka gerbang-gerbang tol baru. Crawurd Mack, dalam Sultan Country menuliskan sebanyak 34 bandar baru muncul dengan 187 tol besar dan 106 tol kecil. Tiga gudang besar tempat penyimpangan candu di Jogjakarta dibangun.

Pemakaian candu berdampak sosial bagi rakyat Jogjakarta. Buruh pasar dan pedagang kecil banyak yang terjerumus oleh kenikmatan candu. Mereka akhirnya tak mampu lagi bekerja. Tempat mereka di bandar dan pasar digantikan oleh orang-orang baru. Seperti yang dikisahkan Peter Carey, bahwa Residen Jogja, Nahuys van Burgst selama Perang Jawa memerintahkan penangkapan ribuan buruh dan gelandangan di sekitar Keraton yang tak lagi bekerja akibat candu.

Orang-orang Cina, yang sebagian besar menjadi pemasok dan pengecer candu semakin kaya. Posisi mereka diistimewakan pihak kolonial. Sementara itu, Keraton, belum mampu berbuat apa-apa terkait meluasnya perdagangan dan pemakaian candu di Jogjakarta. Bahkan, Louw lewat De Java Oorlog menuliskan bahwa pangeran Jogjakarta malah ikut mengonsumsi candu. Apa yang ditulisnya diperkuat dengan pernyataan sejarawan Hans Resink. Jika Pangeran Sala, tulisnya, menyukai anggur dan perempuan, pangeran Jogja lebih menyukai candu.

Facebook Twitter Share on Google+