Jogjapedia
Kampung Ketandan: Wijkertelsel-nya Jogja
Kampung Ketandan yang berada di kawasan Malioboro merupakan kawasan pecinan atau China Town yang ada di Kota Jogja. Ketandan berasal dari kata tondo atau tanda bahwa sekitar 200 tahun yang lalu telah bermukim orang Tionghoa di kawasan ini yang menjadi cikal bakal etnis Tionghoa di Yogyakarta.
Kampung Ketandan lahir berkat izin Sultan Hamengku Buwono (HB) II. Sekitar 200 tahun yang lalu, ketika Belanda masih berkuasa di bumi nusantara ini, ruang gerak etnis Tionghoa dibatasi. Pembatasan ini dilakukan dengan diterapkannya aturan pembatasan pergerakan (passentelsel) serta membatasi wilayah tinggal Tionghoa (wijkertelsel).
Atas seizin Sultan HB II, etnis Tionghoa di Jogja diperbolehkan menetap di Kampung Ketandan. Hal ini dilakukan Sultan HB II dengan harapan dapat mendorong aktivitas pasar karena kondisi perekonomian pada masa itu masih lemah. Lokasi Kampung Ketandan yang berdekatan dengan Pasar Beringharjo diharapkan bisa membantu pertumbuhan ekonomi dan perdagangan.
Etnis Tionghoa di Jogja yang dibantu oleh etnis India dan Arab berhasil membangun perekonomian dengan aktifitas perdagangannya di daerah Malioboro. Dahulu, kawasan perekonomian Jogja yang hanya terpusat di Kotagede. Di Kotagede, etnis Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang. Ketika itu kawasan Kotagede sebagai pusat perdagangan di Jogja dikuasai oleh pedagang pribumi yang terdiri dari pedagang muslim Kotagede yang tergabung di organisasi Muhammadiyah dan kelompok Kalang.
Di awal abad 19, Kawasan Pecinan yang berada di Malioboro mulai menjadi basis perekonomian menyaingi wilayah Kotagede. Pusat perdagangan ini kemudian meluas ke Utara hingga Stasiun Tugu dan Grand de Hotel Yogyakarta (Hotel Garuda). Mulai beroperasinya Pasar Beringharjo di tahun1926 menjadikan kawasan Maliobor kian ramai. Jalan Malioboro yang dulunya jarang dilalui kecuali hendak menuju Keraton kemudian berkembang menjadi pusat bisnis dan perdagangan di Jogja hingga saat ini.
Pada awal masa tinggal di Kampung Ketandan, etnis Tionghoa yang bermukim di situ memulai perdagangan dengan berjualan kebutuhan pokok maupun berjualan jamu atau obat. Toko obat di Ketandan dahulu cukup banyak jumlahnya. Hingga kini pun masih ada beberapa toko obat yang masih berdiri di Kampung Ketandan.
Setelah melewati masa berjualan obat, beberapa etnis Tionghoa di Kampung Ketandan sempat pula berganti profesi sebagai produsen kue atau roti. Hingga kini pun masih ada satu dua toko kue yang beroperasi di Kampung Ketandan.
Pada 1950-an, Kampung Ketandan berubah wajah menjadi toko emas dan permata. Usaha berdagang emas dan permata ini menghasilkan keuntungan yang besar. Berdagang emas ini pun kemudian diturunkan secara turun menurun. Tak heran jika selain dikenal sebagai kawasan pecinan, Kampung Ketandan juga dikenal sebagai pusat perdagangan emas di Jogja.
Pada 20 Februari 2013, Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan sebuah gapura megah dengan ornamen khas Tionghoa. Gapura yang memiliki warna dominan merah dan biru ini memuat tulisan dengan tiga bahasa. Aksara Jawa, Mandarin dan bahasa Indonesia bertulis : Kampoeng Ketandan. Menurut Sultan HB X saat meresmikan gapura Kampung Ketandan, gapura tersebut merupakan sebuah penegas akulturasi budaya yang harmonis di Jogja.