Home » Berita, Jogja » Mengurai Sebab Maraknya Kekerasan di Jogjakarta

Budaya

Mengurai Sebab Maraknya Kekerasan di Jogjakarta



Para narasumber dalam gelaran Bincang Senja di sebuah kafe bilangan Gowok, Kamis (30/1) sore. (Foto: Swadesta AW)

 

“Walaupun beda suku agama, kita satu adanya. Assalamuallaikum shalom santi solah owashala kita satu adanya,”

Demikian penggalan lirik berjudul Kidung Iman yang dibawakan oleh Pendeta Indianto dari Omah Pirukun dalam gelaran Bincang Senja bertema Masa Depan Keberagaman Yogyakarta di sebuah kafe bilangan Gowok, Kamis (30/1) sore. Dengan iringan musik tradisional, Indianto mengajak para peserta diskusi dan narasumber menyanyi bersama.

Lirik tersebut, ujarnya, menjadi bentuk keyakinan bahwa masyarakat Jogjakarta mampu hidup berdampingan dan menjaga perdamaian satu sama lain. Lewat lagu itu juga, Indiarto mengajak para peserta diskusi bernostalgia melihat Jogjakarta 15-20 yang lalu di mana kebersamaan dan perdamaian dipertontonkan masyarakat.

Masalah kebergaman memang tengah jadi isu nasional. Pun dengan Jogjakarta yang juga mendapat slogan City of Tolerance pada 2003. Slogan tersebut ditelanjangi dengan maraknya aksi kekerasan yang menimpa warga minoritas di Jogja. Realitas yang demikian menjadi alasan Jaringan Masyarakat Sipil (Gusdurian, Our Indonesia, dan Komunitas Makaryo) membuat gelaran diskusi yang dihadiri oleh sejumlah tokoh ini. Tujuannya adalah menelisik sejumlah faktor yang menyebabkan kekerasan dan membuat Jogja kembali mempertontonkan kebersamaan laiknya dalam lirik tersebut.

Hairus Salim, peneliti LKis memaparkan bahwa kondisi politik mempengaruhi lahirnya kekerasan terhadap warga minoritas. Ia memaparkan bagaimana perubahan politik ketika dan paska Orde Baru mempengaruhi maraknya kekerasan.

“Waktu Orba, negara mengatur agenda keagamaan. Setelah Soeharto jatuh malah berbalik. Dinamika keagamaan justru mengatur panggung politik. MUI contohnya, lembaga non negara ini dengan mudah mengatur dengan fatwa-fatwa yang bertujuan menyeragamkan satu pandangan keagamaan,” katanya.

Produk dari penyeragaman adalah lahirnya kekerasan yang dilakukan sejumlah pihak yang berpaham sama dengan MUI. Mereka, tambah Hairus, merasa didukung oleh MUI. “Jadinya banyak penghancuran diskotik lalu menyerang para pengikut aliran kepercayaan seperti Kejawen dan lain sebagainya,” katanya.

Dari sudut pandang budaya, Pendeta Indianto memaparkan bahwa pergeseran nilai jadi penyebabnya. Seperti janjinya ketika selesai menyanyikan kidung, ia mengajak peserta bernostalgia. “Jogjakarta waktu saya kuliah tahun 91 itu adem, nyaman, dan tenteram. Mau nyebrang jalan, pengendaranya stop menghormati. Bahkan sampai bilang,’monggo Pak, pinarak Bu’. Tapi sekarang, wah nggak ada yang begitu,” ceritanya.

Cerita pendeta yang kesehariannya senang menggunakan baju koko ini dilengkapi oleh Elga Sarapung, pembicara dari Interfidei. Modernisme menurutnya menjadi sebab hilangnya akar budaya dalam sebagian besar masyarakat Jawa. Hasilnya adalah saling curiga dan prasangka yang mampu menyebabkan terjadinya kekerasan.

“Ini tidak terjadi dalam masyarakat yang berbeda agama saja. Tapi juga dalam komunitas yang sama. Toleransi sudah nggak ada jika tiap individu di masyarakat memulai komunikasi dengan menyisakan kecurigaan,” tambahnya.

Hukum memperparah intoleransi yang marak terjadi di Jogjakarta. Para penegak hukum mati kutu melihat adanya wacana di masyarakat yang memicu kekerasan. Spanduk yang berisi kebencian pada penganut madhzab tertentu dibiarkan begitu saja.

“Para penegak hukum diam aja. Mereka malah menunggu adanya laporan dulu terkait media penyebar yang memicu konflik atau ketika ada konflik. Nggak ada inisiatif sama sekali,” ujar Subkhi Ridho dari Muhammadiyah.

Pada akhir diskusi dibacakan pernyataan sikap Jaringan Masyarakat Sipil Yogyakarta. Empat butir pernyataan tersebut tegas menolak adanya kekerasan di Jogja berdalih apapun. Pertama, Menolak penggunaan kekerasan oleh siapa dan atas nama apapun untuk mewujudkan semangat toleransi. Kedua, Mendorong semua pihak menggunakan cara damai dalam menyelesaikan konflik. Ketiga, membangun strategi kebudayaan dan mekanisme konkrit mencegah terjadinya praktik kekerasan. Keempat, mendorong adanya tindakan tegas pihak berwajib untuk menekan adanya ancaman terhadap kebhinekaan Indonesia.

Facebook Twitter Share on Google+