Home » Berita, Internasional » Kisah Muram Pekerja Kota Sialkot Pakistan, Penghasil Bola Kaki Liga Eropa

Internasional

Kisah Muram Pekerja Kota Sialkot Pakistan, Penghasil Bola Kaki Liga Eropa



Salah seorang pekerja tengah menjahit bola kaki di kota Sialkot, Pakistan. (Foto: Muddasar Shah/Asia Calling)

Sepak bola Eropa barangkali tak akan jadi besar tanpa bantuan Kota Sialkot, di Pakistan. Kota ini menjadi penyumbang bola kaki terbesar di dunia sejak Piala Dunia 1982. Tiap tahun pabrik bola kaki di Sialkot menerima pesanan 40 juta bola kaki. Jumlah ini sekitar 75 persen dari produksi bola kaki dunia.

Sejak pabrik Safnar Sandal memproduksi bola Piala Dunia 1982, kota ini menjadi tujuan perusahaan olahraga dunia untuk memesan bola. Sejak saat itu ribuan pabrik berdiri. Seakan sudah menjadi ciri khas sebagai kota bola, di depan pintu masuk kota dibangun bola emas raksasa.

Namun,di balik prestasi itu Sialkot menyimpan banyak cerita muram. Cerita itu datang dari pekerja pabrik bola kaki. Para pekerja diwajibkan memenuhi target produksi, namun mereka dibayar sangat murah.

Mohamad Idrees (35) misalnya, sudah bekerja menjahit bola di pabrik selama lebih dari 17 tahun. Penghasilannya sekitar Rp30 ribu per hari. Istrinya, Shazia Idrees, dan dua anak perempuannya juga bekerja di pabrik ini. Dia harus membawa anak mereka yang baru berusia 4 tahun karena tidak ada yang menjaganya di rumah.

“Kami hanya bisa menghidupi anak-anak kalau kami berdua bekerja. Kalau tidak kami tidak bisa membayar semua pengeluaran. Kadang suami saya tidak bisa bekerja karena kakinya sakit. Kalau sudah begitu keadaan akan sangat sulit,” cerita Shazia pada Asia Calling.

Pun dengan Riffat Naseer (35). Ibu dari delapan anak ini hanya menerima upah sekitar Rp10 ribu per hari untuk menjahit dua bola. “Saya mulai belajar menjahit bola setelah menikah. Penglihatan saya memburuk dan punggung serta pundak saya juga terasa sakit. Tapi saya tetap harus bekerja untuk menghidupi keluarga saya. Saya harus bekerja keras.” ceritanya.

Sebelum tahun 2007, Riffat atau Idrees bekerja bersama anak-anak. Namun setelah dikecam pemerintah internasional, anak-anak tidak lagi dipekerjakan di pabrik-pabrik pembuat bola kaki. Selepas pekerja anak pergi, pabrik mulai mempekerjakan perempuan. Mereka diupah sangat rendah, sekitar Rp200 ribu per minggu.

Upah yang didapat para buruh perempuan di kota ini tidak cukup memenuhi kebutuhan bagi yang sudah berkeluarga. Sambil menangis, Shazia, mengatakan, “Saya berharap anak-anak saya bisa mendapatkan pendidikan tapi itu mustahil. Saya tahu kami tidak mampu karena untuk makan saja sulit. Saya tahu hidup anak-anak akan seperti kami dan hidup kami tidak akan pernah berubah.”

Asia Calling

Facebook Twitter Share on Google+