Jogjapedia
Tahun 1990, PMI Jogja Canangkan Program Kakek Nenek Angkat
“Seberapakah sayang kita pada orangtua saat mereka benar-benar tua nanti? Sejauh mana kita mau berkorban meluangkan waktu untuk mereka, seperti halnya yang mereka lakukan saat merawat kita sewaktu kecil dulu?”
Penggalan kalimat itu di atas bukanlah nukilan dari kalimat dalam ESQ yang sering diumbar oleh Ari Ginanjar atau Felix Siauw di forum-forum bertajuk staduim general di kampus-kampus kenamaan atau pada sesi bimbingan konseling anak-anak SMA saat ini.
Itu hanyalah gambaran betapa krusialnya relasi antara seorang anak dengan orangtuanya sebagai sebuah keluarga, satuan terkecil dalam masyarakat. Betapa pentingnya keberadaan manula untuk tetap dijadikan indikator keberadaban masyarakatnya, pemerintahannya. Betapa pentingnya mencari problem solver bagi ledakan populasi manula yang kadang tidak selalu disertai dengan tingkat kesejahterannya.
Hal ini tentu tidak lepas dari mindset yang terlanjur berkembang mengenai keberadaan manula yang hanya akan menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat.
Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Jogjakarta pada tahun 1990 pernah memunyai terobosan cemerlang untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut. Adalah Dr. Triwibowo selaku pimpinan PMI cabang Jogjakarta yang mengusulkan untuk diadakannya program kakek dan nenek angkat.
Program ini bertujuan untuk mensejahterakan para manula yang acap kali “tersingkirkan” di keluarganya sendiri. Caranya sederhana, dengan mengerahkan relawan untuk mendatangi satu-persatu manula ke kediamannya kemudian merawatnya.
Relawan yang ditunjuk di sini ialah dari Palang Merah Remaja (PMR). Dengan menekankan prinsip memanusiakan manusia, PMR ditugaskan untuk memberikan pelayanan mulai aktifitas sehari-hari sampai dengan perawatan kesehatannya. Kesabaran serta kasih sayang menjadi hal yang harus dimiliki setiap relawan.
“Mereka tidak usah repot-repot lagi. Kalau memunyai keluarga, mereka pun tidak akan merasa terasing. Kalau kondisi mereka tidak baik, kita bahkan menyediakan dokter,” ujar Triwibowo seperti yang dikutip dari Majalah Si Kuncung edisi ke-39 yang diterbitkan pada 1990.
Triwibowo juga memiliki harapan jika program ini bisa ditiru oleh PMI di daerah-daerah lainnya. Namun, harapan sepertinya tinggal harapan.
“….Nun di sana, dalam gubuknya, lelaki tua itu tertidur lagi. Ia masih tetap tertidur tengkurap dan anak laki-laki itu duduk di sisinya, menjaganya. Lelaki tua itu bermimpi tentang singa-singa” -The Old Man in The Sea-