Jogja Kita
Melihat Penjualan Miras di Jogja Paska Kemerdekaan
Miras bukan hal baru di Jogjakarta. Kehadiran miras di Jogjakarta bahkan sudah ada sejak Kraton didirikan. Miras seperti Ciu dari hasil fragmentasi beras misalnya menjadi minuman rakyat ketika merayakan upacara panen atau panggung-panggung kesenian rakyat. Di lingkungan Kraton, Bangsal Sarangbaya bahkan menjadi tempat dipamerkannya minum-minuman keras Belanda saat zaman kolonial.
Paska kemerdekaan, pemerintah daerah mulai mengontrol peredaran Minuman Keras (miras) di Jogjakarta. Salah satu kontrol yang dilakukan salah satunya dengan menetapkan peraturan daerah. Pada tahun 1953, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotapraja (DPRDK) Jogjakarta menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang izin penjualan dan pemungutan pajak atas izin menjual miras dalam daerah kotapraja Jogjakarta. Perda Nomor 7 Tahun 1953 tersebut mengatur tentang harga, izin, dan waktu penjualan miras.
Tercatat dalam Pasal 3, penjualan miras di Jogja mulai tahun 1953 terbagi atas penjualan dalam jumlah banyak dan sedikit. Dalam jumlah sedikit atau eceran, penjualan dibatasi hanya sebanyak tiga liter. Sedangkan tempat penjualannya harus di pinggir jalan besar dan buka mulai mulai jam 8 pagi hingga 10 malam.
Untuk harga miras sendiri masih tergolong murah. Dalam pasal 13 bagian A dituliskan bahwa harga miras dengan kandungan alkohol di atas lima persen untuk diminum di tempat lain seharga Rp350. Sedangkan ketika minum di tempat dikenakan biaya Rp500. Sedangkan untuk minuman di bawah lima persen, pembeli harus merogoh kocek sebesar Rp250 jika diminum di tempat lain dan Rp350 minum di tempat.
Peraturan mengenai pengedaran dan penjualan miras tersebut dibenarkan oleh Supari (70) warga sekitar Terminal Giwangan. Tahun 50an, kenangnya, ia kerap diajak menemani Pakdenya saat membeli miras. “Mirasnya ya nggak botolan Mas, ngecer pakai plastik. Tapi Pakde minumnya pas waktu ada acara-acara saja. Kayak saat jagong manteng, nonton ketoprak, atau acara lainnya,” kenang kakek yang akrab disapa Mbah Supar ini.
Meski harganya diatur oleh Perda, penjualan miras di Jogja tahun di awal kemerdekaan juga ada yang melanggarnya. Ada yang menjual lebih murah. Seperti yang dituturkan Ramijan (72) warga Samirono. Sebelum tinggal di Samirono, Ramijan bersama keluarga tinggal di daerah Umbulharjo. Tetangganya pada waktu berjualan miras secara sembunyi-sembunyi.
“Kalau dulu itu banyak juga yang di rumah jualnya. Teman Bapak di sebelah rumah juga jualan ciu. Harganya nggak Rp250-Rp350. Lebih murah, soalnya kan tahun segitu sudah mahal kalau Rp250,” katanya.
Tempat penjualan miras di Jogja tahun 1950an berbeda dengan saat ini. Jika saat ini bberapa tempat penjualan miras juga dibarengi dengan pertunjukan musik atau hiburan lainnya, maka tahun 50an di Jogja tidak diperbolehkan. Hal ini juga sesuai pasal 18 Perda yang melarang adanya pertunjukan musik di tempat penjualan miras.