Jogja Kita
Penjual Miras: Kami Bukan Penjahat!
Penjual miras oplosan atau botolan di Jogja kerap dicap buruk oleh sebagian pihak. Apalagi saat ada korban setelah menengak miras. Mereka kerap juga jadi uberan polisi karena dianggap bertanggung jawab atas meninggalnya korban.
“Kami selalu disalahkan. Padahal pembeli yang sering ngoplosnya aneh-aneh. Sudah sering saya ingatkan padahal. Tapi namanya wong cilik, di mana-mana selalu disalahkan,” keluh pedagang lapen di kawasan Jalan Gejayan yang mengaku bernama Hendro ini.
Alasan serupa juga dikemukakan Joko, pedagang miras botolan di kawasan Jalan Kaliurang. Bosan, keluhnya, disalahkan dan dianggap seperti penjahat karena menjual miras. Padahal, kalau memang ada pekerjaan lain yang menjanjikan, Bang Jek, sapaan akrabnya, akan segera pensiun dari urusan miras.
“Saya punya warung rokok kecil gini nggak cukup untuk makan saja. Harus ada tambahan. Kalau saya punya modal besar atau punya pekerjaan layak, nggak mungkin saya jualan minuman sembunyi-sembunyi,” katanya pada beritajogja.co.id.
Baik Hendro maupun Joko merasa bahwa mereka adalah korban dari pemerintah. Sebagai rakyat kecil, wajar jika mereka menginginkan hidup layak seperti lainnya. Namun pemerintah sendiri tak mampu menyediakan lapangan kerja yang layak dan memanusiakan mereka. Mengenai adanya gelombang protes tentang miras, Joko mengatakan bahwa protes tersebut tidak mempertimbangkan rakyat kecil seperti dirinya.
“Protes ya monggo, tapi jangan lupakan wong cilik seperti saya ini yang terpaksa berjualan untuk nambah-nambah. Sama tolong sekali jangan samakan kami dengan penjahat,” pungkasnya.