#Golput
Apakah Golput Merupakan Cacat Demokrasi?
Pertanyaan: benarkah Golongan Putih (golput) adalah cacat demokrasi?
Mari kita lihat. Di negara-negara barat (dunia pertama), golput—atau yang dikenal dengan istilah No Voting Decision—memiliki tempat tersendiri yang dianggap sah dalam proses demokrasi. Dengan demikian, cara menanganinya pun dilakukan secara sistematis dan disesuaikan dengan kaidah hukum yang berlaku.
Mari lihat Amerika Serikat. Berdasarkan keterangan Curtis Gans, Direktur Pusat non-partisan untuk Studi Pemilih Amerika, sejak tahun 2012 sekitar 90 juta warga AS yang memilih tidak memberikan suaranya atau sekitar 40-50 persen saja yang mengikuti pemilu. Situasi ini bahkan diprediksi akan berlangsung lama dengan jumlah yang cenderung meningkat. Lalu, apakah para penganut No Voting Decision itu diberi sanksi? Tidak sama sekali.
Berbeda dengan Amerika, Australia memiliki penanganan yang lebih ketat dalam menangani situasi No Voting Decision. Dalam situs resmi Komisi Pemilu Australia (AEC), orang yang tercatat telah melakukan sikap No Voting Decision akan dikenakan denda sebesar AU$20 atau Rp 196 ribu. Selain itu, setiap warga No Voting Decision juga diminta untuk memberikan penjelasannya kepada pihak AEC dalam waktu 21 hari. Jika lewat tenggat itu penjelasannya tidak dilayangkan, maka AEC dapat memproses masalah ini hingga ke pengadilan dan dijatuhkan denda lebih besar lagi, yaitu sebesar AU$170 atau Rp1,7 juta.
Sementara itu, laju kaum No Voting Decision di Eropa juga tak kalah pesatnya. Stuart Wilks-Heeg, salah seorang dosen senior di University of Liverpool, pada laporannya Democratic Audid dalam artikel British democracy in terminal decline, warns report—yang tayang di Guardian (6/07/2012)—menyebutkan, hanya 1% pemilih yang merasa memiliki partai, lalu hanya 6 dari 10 pemilih yang berhak pergi ke kotak suara di Pemilu 2010, dan hanya 1 dari 3 pemilih berpartisipasi dalam pemilu Eropa dan lokal. Uniknya, jumlah kaum No Voting Decision di Inggris justru lebih besar di kalangan masyarakat kelas dibandingkan masyarakat kelas bawah.
Tak hanya dalam pemilihan umum dalam skala lokal, pemilu untuk Parlemen Eropa pun jumlah kaum No Voting Decision juga mencapai jumlah yang mencengangkan. Dilansir dari situs European Parliament (www.europarl.europa.eu/portal/en), kaum No Voting Decision di Perancis pada tahun 2010 mencapai angka melebihi 50%. Sementara di Rusia, dari 110 juta warga yang terdaftar dalam KPU Rusia, hanya 60% yang menggunakan hak pilihnya.
Pada pemilu 2013 lalu di Italia, Kementerian Dalam Negeri setempat menyebut jumlah kaum No Voting Decision mencapai angka 45% hingga 55%. Sebagai catatan, jumlah ini adalah yang terendah sejak Perang Dunia Ke-II. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, atau tahun 2008, jumlah No Voting Decision “hanya” sebesar 32%, dengan angka di pihak pemilih mencapai 68%.
Bagaimana dengan jumlah kaum No Voting Decision di negara-negara berkembang? Robert P. Clark, salah seorang peneliti asal University George Mason, Amerika Serikat dalam penelitiannya pernah menyampaikan bahwa negara-negara seperti India, Tanzania, Nigeria, Meksiko, dan Brazil, tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai 64,5 persen.
Setelah melihat berbagai fakta singkat di belahan negara lain di dunia tentang kaum No Voting Decision atau golput, mari kita lihat Indonesia. Sebelumnya, mari kita tengok sebentar sejarah golput di sini.
Pada mulanya, golput adalah gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu tahun 1971. Sebagai catatan, ini adalah pemilu pertama di era Orde Baru di mana terdapat 10 partai politik pada pemilu tahun 1971, jumlah yang sangat berkurang drastis dibanding pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.
Syahdan, pada 3 Juni 1971, di Gedung Balai Budaya Jakarta, sejumlah kalangan aktivis muda saat itu, seperti Arief Budiman, Imam Waluyo, Julius Usman, Husin Umar, Marsilam Simanjuntak, dan Asmara Nababan mendeklarasikan sebuah gerakan protes karena merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal ala Orba waktu itu.
Adapun “ide” mereka saat itu sebagai bentuk protes adalah dengan menyerukan—seraya mengajak—orang-orang untuk tidak usah mencoblos logo setiap parpol saat di bilik suara, melainkan coblos bagian kertas kosong yang terdapat di sisi tiap logo.
Hingga kini, pasca rezim Orba runtuh, kehadiran golput pun tetap marak, tetapi dengan satu perbedaan yang jelas: jika pada tahun 1970-an golput adalah bentuk kesadaran pribadi lantaran tidak puas dengan proses politik yang diselenggarakan, maka kini, mereka yang golput cenderung terjebak dalam arus apatisme politik yang begitu liat.
Pada pemilu 2009 lalu, angka golput di Indonesia mencapai 49 juta orang atau sekitar 29,6%. Pada Pilkada DKI tahun 2012 lalu, misalnya, angka golput tercatat hingga 37,05%, lalu di Pilkada Jabar 2013 tercatat 36,15%, pilkada Sumut 54%, Pilkada Jateng 50%, dan Pilkada Bali 32,05%.
Khusus di Jogjakarta, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu legislatif (Pileg) 2009 di mengalami penurunan, dari semula di tahun 2004 mencapai 84% dari jumlah pemilih, menjadi hanya 73% dari jumlah pemilih. Dengan demikian, angka golput mencapai 27% dari total pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Jogja.
Dari data KPU DIY, total penduduk di Jogja mencapai 3.604.805 orang. Sebanyak 2.751.761 orang di antaranya memiliki hak pilih dan terdaftar dalam DPT Pileg. Dari total tersebut, hanya 2.007.359 orang yang memilih dalam Pileg untuk Dewan Perwakilan Rakyat RI, dan hanya sebanyak 2.007.331 dalam Pileg untuk memilih Dewan Perwakilan Daerah.
Sementara itu, pada Pileg 2004, jumlah pemilih di Jogja sebesar 2.457.108, dan hanya 2.067.247 (84%) yang mencoblos. Sedangkan pada pemilihan presiden putaran pertama, jumlahnya menurun lagi menjadi 2.048.053 (81%), dan turun lagi pada pemilihan presiden putaran kedua, 1.973.930 (78%).
Lalu bagaimana dengan Pemilu 2014 mendatang?
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI memprediksi kecenderungan masyarakat untuk golput dalam Pemilu serta Pilkada mendatang kan terus meningkat. Sementara itu, angka-angka prediksi lain yang dikeluarkan beberapa lembaga penelitian lain kemungkinan golput berkisar di angka 40%.
Lalu bagaimana sikap golput ditinjau dari perundang-undangan Indonesia? Ada tiga rujukan untuk menjawab pertanyaan ini.
Pertama, dalam UU No. 39/1999 tentang HAM pasal 43. Kedua, UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik, yaitu di pasal 25. Ketiga, UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi:
“WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai HAK memilih.” Sementara dalam UUD 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, tercantum dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, BEBAS, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Sekarang, tinggal Anda jawab sendiri:
Apakah golput merupakan cacat demokrasi?