Home » Jogjapedia » Perjalanan Seragam Sekolah di Jawa (Bagian Pertama)

Jogjapedia

Perjalanan Seragam Sekolah di Jawa (Bagian Pertama)



Dokumen Istimewa

Merah-putih, putih-biru, dan putih-abu-abu jadi warna seragam sekolah negeri di Indonesia. Merah-putih untuk tingkat SD, putih-biru SMP, dan tentu saja SMA dengan putih-abu-abu. Penyeragaman pakaian sekolah di Indonesia hingga sampai pada penyeragaman warna itu adalah sejarah yang lumayan panjang. Melihat penyeragaman sekolah di Indonesia, khususnya di Jogjakarta adalah sama dengan melihat kembali sejarah pakaian dan pendidikan itu sendiri.

Pakaian menjadi kebutuhan manusia yang mengikuti kekuasaan dan semangat zaman. Saat kedatangan Hindu-Budha ke nusantara misalnya, pakaian para biksu berupa kain panjang yang hanya dililitkan di tubuh dicontoh sebagian besar penduduk. Pada relief candi jelas digambarkan bagaimana sebagian besar penduduk berpakaian yang mirip dengan biksu.

Kedatangan Islam ke nusantara juga mengubah cara berpakaian penduduk dan kalangan pejabat kerajaan. Pengaruh berpakaian hindu-budha yang hanya menutupi tubuh dengan kain tanpa dijahit dari peinggang ke bawah disempurnakan dengan menutup bagian atas tubuh. Namun, pengaruh hindu-budha masih sangat kuat, sehingga belum sebagian besar yang menutup bagian atas tubuh. Sedangkan bagi kalangan pejabat istana atau Kraton yang sudah memeluk islam, mereka juga mengikuti gaya berpakaian para penyebar islam dari Hadramaud seperti pemakaian surban/turban di kepala.

Adanya keseragaman, atau, mungkin juga penyeragaman yang diapaksakan, waktu itu di tengah masyarakat memengaruhi juga dengan gaya berpakaian ketika berkumpul menerima pendidikan. Henk Schulte dalam Trend, Identitas, Kepentingan misalnya mencontohkan bagi para biksu ketika menempa pendidikan keagamaan berpakaian seragam. Pun dengan santri yang belajar di pesantren atau tengah menerima kajian islam di depan para Kiai yang semuanya memakai pakaian dengan menutup bagian atas tubuhnya.

Masuknya Belanda ke nusantara, khususnya ke tanah Jawa mengubah kembali mode berpakaian. Engineers of Happy Land yang ditulis Rudolf Mrazek menggambarkan para priyai dan pejabat Kraton yang mulai memakai pakaian ala barat. Awalnya Kolonial lunak dengan pribumi ketika membolehkan pakaian mereka dipakai oleh semua masyarakat. Namun saat Kolonial dikuasai VOC, pakaian mulai digunakan membentuk identitas. Warga pribumi dilarang memakai pakaian mereka.

Van Deventer, sang pengagas politik etis, kemudian menekan pemerintah kolonial agar membalas kebaikan Kraton dan pribumi yang sudah berjasa atas sistem tanam paksa. Sekolah-sekolah didirikan sebagai usaha balas budi. Munculnya sekolah-sekolah juga diikuti dengan aturan-aturan dalam hal berpakaian. Pakaian sekolah memiliki aturan yang berbeda sesuai dengan kepemilikan sekolah itu. Pakaian sekolah bagi anak-anak bangsawan berbeda dengan anak-anak lainnya. Anak-anak bangsawan atau priyayi biasanya bersekolah di sekolah milik pemerintah kolonial Belanda, sehingga aturan berpakaian akan mengikuti aturan di sana.

Penyeragaman pakaian anak-anak priyai dan pengotakan sekolah ini sekaligus menunjukkan perbedaan identitas kebangsawanan dan status sosial. (Bersambung)

Facebook Twitter Share on Google+