Interaksi
Surat Pembaca: Twitter, Jogja, dan Anak-Anak Manja
Kemunculan Twitter memberi efek besar pada pengguna internet. Tidak terkecuali warga Jogja, yang juga meramaikan hidupnya dengan membuat akun Twitter. Lewat Twitter, semua kegiatan pribadi, pandangan, atau informasi diberitahukan dengan cepat. Termasuk juga pandangan terhadap Jogjakarta. Menarik juga melihat pengguna Twitter memandang Jogjakarta. Terlebih lagi pengguna yang membuat akun komunal atau bisnis. Mereka memberikan informasi terhadap peristiwa, event, sejarah, promosi wisata dan lain sebagainya.
Banyak kelucuan dari sejumlah akun tersebut. Misalnya saja sebuah akun yang getol mempromosikan wisata kota Jogja marah ketika jalanan macet karena (mungkin) banyak wisatawan yang datang. Dengan promosinya, dia ngajak orang ke Jogja. Nikmati semua hal dari Jogja. Tapi pas orang-orang datang, dia marah-marah karena mengganggu kenyamanan berkendara.
Ada lagi akun yang memberikan segala macam informasi tempat dan peristiwa teraktual yang terjadi di Jogja. Di satu sisi, akun tersebut bermanfaat. Tapi di sisi lain, akun tersebut memberikan bencana sosial. Bencana yang dimaksud adalah kesalahan informasi demi difollow atau mendapat retweet dari pengguna lain dengan asumsi bahwa akun yang pertama kali nge-tweet sudah pasti benar. Misalnya saja saat terjadi gempa di Jogja dengan episentrum di Gunungkidul beberapa waktu lalu. Ada akun yang nge-tweet informasi yang salah. Dia nge-tweet informasi kegempaan yang terjadi di Cilacap tahun lalu, padahal episentrumnya terjadi di Jogja.
Bencana lainnya adalah makin terkikisnya budaya srawung di masyarakat. Banyak pengguna yang memilih bertanya pada akun tersebut jika ingin membeli barang atau mencari tempat. Malas untuk bertanya pada pengguna jalan atau srawung di angkringan terus bertanya pada masyarakat. “Min, beli ini di mana?” atau “Min, berapa lama sih dari jalan A ke jalan B?” dan lain sebagainya.
Padahal menurut saya yang paling asyik dari Jogjakarta bukan tempat wisata atau kulinernya, melainkan warganya. Ketemu warga, ngobrol, tanya ini, tanya itu, bakal jadi pengalamanan yang berharga ketimbang mengurung diri di kamar atau warnet lalu menggantungkan informasi pada akun-akun.
Terakhir yang saya lihat dari pengguna twitter adalah kerap nyinyir ketika ada massa aksi. Mereka bilang demo nggak berguna, bikin macet jalan, ngecewain orang tua, dan lain sebagainya. Buat saya, demonstrasi ketika melihat ketidakadilan di Jogja masih lebih baik dari anak-anak manja yang cuma bisa protes dari dalam kamar via media sosial. Menjaga Jogjakarta nggak cuma dari kalam kamar, Bung!
Pariono
Aktivis