Kampus
Pakar Komunikasi: Media Tak Adil Memandang Multikulturalisme
Multikulturalisme, meminjam definisi Lawrence Blum, merupakan cara pandang memahami, menghargai, dan menghormati kebudayaan kelompok tertentu. Cara pandang ini meliputi penilaian, sistem politik, budaya, dan kebiasaan yang dianut. Dalam realita kekinian, menurut pakar komunikasi UMY, Filosa Gita Sukmono, penafsiran multikulturalisme cenderung salah.
“Salah satu contohnya bagaimana media memandang multikulturalisme. Saat ini di media, semakin hari semakin menyorot suatu kalangan secara sepihak, bahkan kini mulai mengekpos hal-hal yang berujung pada etnis tertentu,” katanya dalam peluncuran buku berjudul Komunikasi Multikultur-Melihat Multikulturalisme dalam Genggaman Media, Selasa (22/4) kemarin.
Filosa juga menjelaskan maksud dari tidak seimbangnya media. Salah satu contoh kasus yang dipaparkan adalah ketika media mengambil gambar suatu etnis, yang disorot adalah kelemahan dari suatu etnis yang menjadi daya tarik dari penikmat media. Misalnya saja saat seperti iklan suatu produk minuman, awalnya menyorot kondisi budaya di Jogja yang memiliki budaya yang maju dengan berbagai macam bentuk keseniannya, selanjutnya iklan tersebut juga menyorot kondisi budaya di Papua.
“Kondisi rakyat di Papua digambarkan belum menggunakan pakaian seperti kebanyakan etnis di Indonesia. Sorotan untuk Papua selalu lebih kepada ketertinggalannya, padahal masih banyak hal yang lebih baik di Papua, seperti kondisi alamnya yang eksotis,” katanya.