Diskusi 'Televisi di Tangan Politisi'
Pakar Komunikasi: TV Adalah Takhayul Gaya Baru
Dalam kerangka pemikiran Molinowski, kebutuhan manusia selalu bertambah. Kebutuhan tersebut tak hanya meliputi kebutuhan fisik saja, melainkan juga pemenuhan akan kognitif sekaligus afektif manusia. Salah satunya kebutuhan akan informasi dan hiburan yang kian bertambah. Dalam realitas kekinian, media yang mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut adalah televisi. Sebab TV mampu menyentuh hingga lapisan akar rumput.
Di balik ketersediaan terhadap informasi dan hiburan, televisi memberikan sejumlah dampak negatif. Sebagaimana yang diuraikan oleh pakar komunikasi UMY, Fajar Jumaidi dalam diskusi bertajuk Televisi di Tangan Politisi, di FT UNY, Jumat (9/5) malam. Diistilahkan olehnya bahwa televisi merupakan takhayul gaya baru. Istilah ini merujuk pada salah satu sifat televisi yaitu hegemoni.
“Orang percaya bahwa apa yang ada dalam televisi mampu mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Saya ambil contoh anak saya. Waktu itu di sekolahnya kesurupan, dia langsung telepon saya dan meminta saya untuk menghubungi Solepati, sosok yang kerap bersentuhan dengan hal gaib di acara Mister Tukul Jalan-Jalan,” urainya.
Dua alasan lain yang membuat TV menjadi takhayul gaya baru karena bersifat oposisional reading dan negosiasi reading. TV mampu bernegosiasi dengan masyarakat atas semua tayangannya. Sayangnya, masyarakat Indonesia masih reaktif dan mudah terhegemoni dengan acara TV yang tidak mendidik.
“Sebabnya karena loncat literasi. Kita belum selesai proses literasi, sudah loncat ke budaya visual seperti TV. Belum selesai dengan TV, kita sudah loncat lagi ke internet,” katanya.
Berita Terkait
- Kekerasan Marak, Kapolda Jogjakarta Dapat Promosi
- Polisi Tetapkan Dua Tersangka Kasus Perusakan Bangunan Ibadah di Pangukan
- Kapolda: Polisi Sudah Memproses Kasus Kekerasan di Sleman
- Kekerasan Marak, Penegak Hukum Bersama Pemda Jogjakarta Buat Kesepakatan Bersama
- Aksi Kamisan Kutuk Intoleransi di Jogjakarta