Home » Berita, Jogja » ‘Televisi’ Pernah Kalahkan PDIP

Diskusi 'Televisi di Tangan Politisi'

‘Televisi’ Pernah Kalahkan PDIP



Istimewa

Televisi merupakan bagian dalam perpolitikan di Indonesia. TVRI misalnya, sebagaimana yang dibeberkan Heru Atmodjo, mantan Perwira Intelejen Angkatan Udara pada Bingkai Merah edisi 1 Oktober 2009. TVRI, kala itu digunakan untuk menyebarkan propaganda bahwa PKI adalah dalang di balik pembunuhan dewan jenderal.

Penggunaan televisi sebagai media penyebar propaganda atau iklan politik makin massif setelahnya. Seperti yang terjadi pada tahun 2004. Ketika itu Megawati bersama PDIP-nya memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu). Ia pun mengantongi koalisi dengan sejumlah partai besar. Namun, kenyataan pahit ia terima ketika dikalahkan pasangan SBY-Jusuf Kalla ketika Pilpres.

“Ini semua karena iklan politik di televisi. Waktu itu ada sebuah iklan yang memotong arus politik. Iklan itu menggambarkan keluh masyarakat yangseperti salah coblos partai. Namun dalam dialog selanjutnya ada seperti tekanan bahwa boleh berbeda partai, namun presidennya tetap SBY-JK,” papar Ahmad Ghozi, dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jogjakarta, Jumat (9/5) dalam diskusi bertajuk Televisi di Tangan Politisi, di FT UNY.

Lebih lanjut Ghozi menjelaskan bahwa iklan politik di televisi tidak hanya saat masa kampanye saja. Banyak kampanye terselubung melalui sinetron dan lain sebagainya. Ketika lepas dari Orba yang jadi corong pemerintah, televisi, khususnya swasta, menggurita bersama dengan grup di bawahnya menyiarkan iklan politik. “Apalagi pemilik televisi adalah orang yang terjun di politik juga,” tambahnya.

Sementara itu, Iwan Amaluddin, peneliti komunikasi massa UII menguraikan lebih lanjut sebab mengapa iklan politik begitu massif di televisi paska orde baru. Salah satu sebabnya adalah ketidaktegasan KPI dan KPID dalam menghukum pengiklan politik di televisi,khususnya swasta. “KPI dan KPID ini masih berdebat soal definisi. Apakah yang ini dikategorikan kampanye atau tidak. Padahal tandanya sudah jelas,” paparnya.

 

Facebook Twitter Share on Google+