Intoleransi
Penafsiran Sila Pertama Pancasila Tak Tuntas, Penyebab Intoleransi di Jogja
Kasus intoleransi yang diikuti kekerasan dalam beberapa tahun terakhir marak di Jogja. Belum juga selesai kasus penyerangan LKiS dan Yayasan Rausyan Fikr, sudah ada peristiwa lagi yang menunjukkan betapa rendahnya intoleran di Jogja di mata sebagian orang. Misalnya saja dua kasus yang terjadi dalam satu minggu terakhir: Perusakan rumah Direktur Galang Press dan Perusakan rumah yang difungsikan sebagai tempat ibadah yang terjadi Kabupaten Sleman.
Salah satu penyebab maraknya intoleran yang disertai dengan pelanggaran hukum di Jogja ditengarai oleh sejumlah sebab. Salah satunya adalah gagalnya pemahaman tentang pancasila di ruang publik, Menurut Diasma Sandi Wandaru, peneliti dari Pusat Studi Pancasila UGM, ruang publik adalah ranah kerja dari pancasila.
“Operasional pancasila itu di ruang publik. Di sana, dengan sejumlah perbedaan, pancasila mampu memahamkan dan pemberi penyadaran atas perbedaan tersebut ke masing-masing individu,” ujarnya, Senin (2/6) sore ketika ditemui di kantor PSP.
Dalam sebuah ruang publik yang terdiri dari sejumlah individu dengan kelompok sosialnya masing-masing, pancasila ditafsirkan beragam. Sila pertama misalnya, ada yang menafsirkan bahwa Ketuhanan yang dimaksud adalah sesuai dengan agama mayoritas yang dianut di Indonesia.
Soal penafsiran ini Diasma menjelaskan bahwa, menelaah sila pertama tersebut harusnya dilihat juga proses, makna, dan penjelasannya ketika Pancasila dibuat. Terlebih lagi sila pertama yang bicara soal Ketuhanan.
“Kita lihat awalnya sila pertama pancasila dulu, yaitu Ketuhanan yang Berkebudayaan. Artinya, setiap agama di Indonesia ini punya kebudayaannya masing-masing. Yang islam, nasrani, budha, hindu, dan lain sebagainya punya cara beribadah dan keyakinan atas kebudayaan daerah masing-masing. Nggak bisa pukul rata atau menyamakan dengan penafsiran agama di luar negeri,” tambahnya kemudian.
Meski demikian pemahaman yang kini jarang dimasukkan dalam kerangka pemikiran sejumlah warga tersebut dapat dipahami. Sebab, pancasila mengalami tiga buah zaman yang digunakan untuk tujuan tertentu. Di masa Orde Lama misalnya, pancasila dipakai Sukarno untuk menyatukan bangsa. Lain lagi ketika Orba, yang dipakai untuk penyeragaman dan kegiatan politik.
“Ketika reformasi, orang-orang takut membicarakan pancasila. Sebab, mereka takut dituduh menjadi bagian dari Orba yang mempolitiskan pancasila. Hal ini yang membuat pemahaman atas pancasila di benak warga belum selesai,” katanya.