Home » Jogja Kita » Sebab Intoleransi: Tak Srawung, Maka Tak Sayang

Intoleransi

Sebab Intoleransi: Tak Srawung, Maka Tak Sayang



Istimewa

Jogjakarta adalah kota sosial. Predikat yang demikian membuat Jogja menjelma menjadi kota yang dikenal penuh toleransi. Tiap warga dengan suku, agama, dan ras tertentu bergaul dan saling mengenal satu sama lain. Namun, dalam beberapa tahun terakhir terjadi sejumlah kekerasan yang melibatkan suku, agama, dan ras tertentu di Jogjakarta.

Menengarai hal ini, Sultan Hamengkubuwono X kerap berpesan agar warga selalu menjunjung tinggi perbedaan di Jogja. Sebab, kata Sultan, Jogja adalah indonesia kecil yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Artinya, tiap orang di Jogja tidak semuanya sama namun tetap menyayangi perbedaan itu. Peristiwa kekerasan yang terjadi di Ngaglik Sleman, Kamis (29/5) malam, di mana adanya perusakan rumah yang tengah dipakai untuk beribadah dan perusakan gereja 1 Juni lalu membuat Sultan tak bisa lagi menahan diri.

“Sudah bukan waktunya lagi dialog dengan pelaku kekerasan. Tindak secara hukum,” tegas Sultan.

Rahmat perbedaan di Jogja, sebagaimana yang terus didengungkan Sultan tampaknya sudah mulai dicueki sejumlah warga Jogja. Diasma Sandi Swandaru, peneliti dari Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM coba menelaah ketidakpedulian terhadap imbauan Sultan tersebut. Menurutnya, sejumlah masyarakat telah kehilangan atau bahkan menolak budaya srawung di masyarakat. Itu membuat mereka merasa tidak perlu mendengarkan Sultan.

“Ada sekelompok masyarakat yang ekslusif. Mereka tidak mau srawung dengan warga sekitar. Akibatnya, mereka nggak kenal perbedaan di luar kelompoknya. Karena hal itu, ditambah pemahaman yang sempit pada perbedaan, banyak sekali peristiwa intoleransi. Mereka merasa diri paling benar dan tidak menghiraukan orang lain,” katanya.

Budaya berkumpul dan mengenal satu sama lain adalah hal penting dalam kehidupan. Tak hanya mengenal secara individu, namun juga mengenal budaya, kebiasaan, dan ideologi individu. Diasma Sandi membenarkan hal ini. Menurutnya, srawung dapat membuka pikiran bahwa perbedaan itu indah.

“Kita harus bisa memahami individu dan kelompok secara keseluruhan. Sebab, tak srawung maka tak sayang,” pungkasnya.

Facebook Twitter Share on Google+