Jogjapedia
Melihat Graffiti Tahun 80an di Jogja
Saat ini kita tentu saja sudah cukup akrab dengan istilah graffiti, terlebih lagi di Jogjakarta, tidak sulit untuk menemukan sebuah graffiti. Bahkan hampir di setiap sudut dinding Jogjakarta, tidak akan luput dari hiasan cat semprot ini.
Coretan cat semprot dengan kombinasi warna dan tipografi ini sudah menjadi sebuah hal yang lazim di Jogjakarta. Bahkan banyak komunitas graffiti yang bermunculan di Jogjakarta. Komunitas graffiti ini merubah ruang publik menjadi kanvas. Bahkan dalam beberapa even, graffiti justru dilegalkan oleh pemerintah setempat, untuk menghiasi beberapa ruang publik yang sudah ditentukan sebelumnya.
Namun tentu saja tindakan mencorat-coret tembok di ruang publik seperti itu menuai banyak pro-kontra dari berbagai pihak. Ada yang menganggapnya sebagai seni, ada pula yang mengangapnya sebagai vandalisme.
Seperti yang terjadi di Jogjakarta, puluhan tahun yang lalu. Pada tahun 1985, tindakan corat-coret dinding dengan cat semprot ini menuai kecaman keras dari salah satu Anggota Komisi IX DPR RI Ki Suratman. Kecaman dari Ki Suratman yang juga merupakan Ketua Majelis Luhur Taman Siswa kala itu, muncul lantaran banyaknya coretan di sekitar dinding lingkar Kridosono.
Menurut Ki Suratman seperti yang dimuat dalam SKH KR edisi 4 Juni 1985, banyaknya coretan yang muncul dapat meruntuhkan identitas Jogjakarta sebagai kota pelajar. Adapun faktor yang mendukung banyaknya tindakan corat-coret seperti ini menurut Ki Suratman ialah: banyaknya cat semprot yang dijual bebas dan harganya yang relatif murah.
Selain itu, ia juga menambahkan, bahwa corat-coret tembok merupakan kenakalan remaja yang disebabkan lemahnya pendidikan di dalam keluarga. Biarpun sebenarnya ini merupakan kenakalan yang masih dalam batas wajar. Meski begitu, lingkungan dan keluarga harus mengarahkan mereka ke arah yang positif, agar jauh dari kenakalan remaja.