Home » Interaksi » Opini: Partai Demokrat dan Jokowi Dalam Penyikapan Media Effect

Interaksi

Opini: Partai Demokrat dan Jokowi Dalam Penyikapan Media Effect



Warga saat mendukung Jokowi menjadi presiden dengan memakai topeng di Malioboro, Minggu (19/1). (Foto: Kresna)

Di akhir masa kampanye pemilihan presiden ini terjadi penyegelan kantor berita TV One oleh sekelompok orang yang disinyalir bagian dari massa PDI-P. Berawal dari merasa terhina karena diberitakan oleh TV One bahwa PDI-P menampung kader mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) bahkan calon presiden usungan PDI-P dikaitkan juga dengan PKI, kader PDI-P meradang.

Pemberitaan yang diduga tidak berdasarkan fakta yang faktual dan diperoleh dari sumber berita yang akuntable memang sangat menodai tugas mulia pers.Namun, menyegel kantor berita secara sewenang-wenang juga tidak lebih baik dari itu. Peristiwa ini bukan saja mencederai proses demokrasi Indonesia dalam menentukan presiden lima tahun mendatang tetapi juga membahayakan kehidupan demokratis jangka panjang. Menyegel pers berarti menyegel demokrasi itu sendiri. Sayangnya Joko Widodo gagap dalam menyikapi penyegelan tersebut dan pemberitaan tentang dirinya. Jokowi justru malah melegitimasi penyegelan itu dengan menyatakan ‘Salah yang manas-manasin. Jangan salahin relawannya, salahin yang buat isu, fitnah’.

Dalam tradisi teori ilmu bahasa ada teori tindak tutur (speech act) yang diperkenalkan Austin. Teori ini dapat menjelaskan konsekuensi logis dari pernyataan Jokowi. Sebuah pernyataan tidak hanya bermakna deskriptif pada objek tertentu saja yang lazim disebut tindak tutur lokusi. Tiap tindak tutur mengandung tiga implikasi sekaligus; lokusi, ilokusi dan perlokusi.

Austin (1962) menjelaskan tindak lokusi adalah tndak mengucapkan ungkapam itu sendiri dengan mengacu pada makna dan objek tertentu saja, misalkan seorang guru mengucapkan ‘Kelas terasa sangat panas hari ini’. Pernyataan ini dalam dimensi lokusi hanya menjelaskan bahwa kelas hari ini terasa panas. Dalam dimensi ilokusi, pernyataan ‘Kelas sangat panas hari ini’ menimbulkan efek konvensional di dalam lingkungan tempat pernyataan dinyatakan dalam contoh kasus ini siswa. Dan yang terakhir adalah dimensi perlokusi dari sebuah tindak tutur.

Dalam dimensi ini pernyataan bukan saja berwujud deskriptif-objektif tetapi juga direktif. Saat seorang guru mengucapkan ‘Kelas panas sekali hari ini’ dapat merupa menjadi perintah tak langsung kepada siswa untuk menyalakan kipas angin kelas, membuka jendela kelas atau apapun yang dapat menurunkan derajat kepanasan agar si guru nyaman. Austin mendefinisikan perlokusi ini dengan tindakan yang dilakukan dengan mengucapkan suatu ungkapan, atau efek non-konvensional yang diakibatkan ungkapan itu.

Pernyataan Jokowi sebagai calon presiden atau mungkin sudah jadi presiden bagi relawannya sama seperti kasus guru tadi, mempunyai efek direktif kepada massa pendukungnya. Pernyataan Jokowi dan guru tadi ditopang oleh strukur kekuasaan berupa institusi. Topangan kekuasaan dalam tindak tutur ini dituturkan oleh Piere Bourdieu (1995) saat meradikalkan teori tindak tutur Austin. Bagi Bourdieu selain berupa hubungan komunikasi dan pengenalan, juga tidak boleh dilupakan bahwa pertukaran bahasa merupakan hubungan kuasa simbolik, bahwa yang terutama memiliki kuasa simbolik adalah ucapan yang disokong institusi.

Penulis menganggap pernyataan Jokowi dalam menanggapi penyegelan kantor TV One Jogja adalah wujud kegagapan dalam menanggapi pemberitaan menyangkut dirinya yang timbul karena ketergesaan mendandani citranya yang terancam koyak oleh pemberitaan PKI itu. Jokowi gagap karena ia begitu cepat timbul ke permukaan kepemimpinan nasional dengan kartel informasi media nasional yang memberitakannya melulu dengan positif. Jokowi terbiasa menjadi media darling hingga gagap tiba-tiba diberitakan sebagai common enemy.

Kemunculan Jokowi pertama kali di kancah media nasional diwakili oleh pemberitaan besar-besaran mobil Esemka hasil rakitan sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Solo, tempat Jokowi menjadi walikota. Diskusi di media membahas mobil menjadi tema utama dalam beberapa minggu sampai menyebutkan sebagai tonggak awal kebangkitan industri otomotif nasional. Selang beberapa bulan, PDI-P mengusungnya menjadi calon gubernur dalam kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta. Hingga sekarang menjadi calon presiden Indonesia.

Pencapresan Jokowi memiliki kesamaan dengan kondisi Partai Demokrat sekarang. Kedua-keduanya sama mengalami media effect. Perolehan Partai Demokrat pada pemilihan legislatif kemarin hanya 10,19 persen atau 12.728.913 suara dari suara sah. Perolehan ini merosot dari 2009 yang mencapai 20,85 persen atau 21.703.137 suara. Demokrat kehilangan sekitar 9 juta suara tidak lepas dari pengaruh pemberitaan negatif seputar korupsi kader dan ketua umunya Anas Urbaningrum juga konflik internalnya. Masifnya pemberitaan negatif ini terutama di media televisi hampir berbarengan dengan masifnya pemberitaan positif tentang Jokowi.

Merupakan strategi politik PDI-P dengan mengumumkan pencapresan Jokowi sebelum dilaksanakannya pemilihan umum legislatif sebagai katrol perolehan suara. Nyatanya strategi ini berhasil, PDI-P memperoleh 18,95 persen atau 23.681.471 suara menanjak dari perolehan pemilu 2009 yang hanya 14,03 persen atau 14.600.091. Dapat diduga kenaikan 9 juta suara PDI-P ini merupakan pemilih Demokrat pada 2009 lalu. PDI-P berjaya adalah sintesa dari media effect atas Jokowi dan Demokrat.

 

Ubaidillah

Mantan Pemimpin Umum LPM Sketsa Unsoed

Facebook Twitter Share on Google+