Home » Jogjapedia » Perilaku dan Kehidupan Orang Jawa Abad 18 (Bagian Kedua)

Jogjapedia

Perilaku dan Kehidupan Orang Jawa Abad 18 (Bagian Kedua)



Dok.Wikimedia

Pada bagian pertama, telah dijelaskan bagaimana pengamatan Belanda di awal kedatangan ke nusantara hingga awal abad ke-18 terhadap orang Jawa. Kesederhanaan orang Jawa kadang membuat Belanda muak hingga melabeli mereka sebagai manusia yang berpikir lamban. Lamban, karena orang Jawa, dalam hal ini pribumi yang mereka amati kerap bersyukur dengan upah yang didapat meski sedikit. Apalagi ketika melihat rumah mereka yang jelek namun masih bisa dinikmati oleh orang Jawa.

Namun, Belanda menemukan dampak dari hidup sederhana itu dari pribumi. Karena memang tidak pernah hidup laiknya seelok mereka, Belanda menemukan bahwa pribumi yang tinggal di gubuk-gubuk kerap terserang bisul. Penyakit ini mereka namakan cacar jawa. Belanda juga membuat kesimpulan bahwa lingkungan yang mereka anggap tidak layak itu embikin orang-orang pribumi tak berumur panjang. Harapan hidup pribumi bahkan dicatat tidak pernah lebih dari 60 tahun.

Ada perbedaan orang Jawa pribumi dengan golongan atas yang menarik bagi Belanda. Selain materi, perilaku mereka berbeda jauh. Salah satu yang dicatat Belanda adalah kebutuhan seksual. Maksudnya adalah, sebagaimana yag dituliskan John Stockdale dalam Island of Java, para aristokrat Jawa seperti pejabat Kraton, demang, dan lain sebagainya punya kecenderungan poligami. Mereka beristri lebih dari satu atau mengambil budak untuk dijadikan selir. Kebiasaan ini jauh berbeda dengan Jawa pribumi yang harus puas dengan satu perempuan.

Mistik Orang Jawa

Saat datang ke Jawa pada akhir abad ke-16, banyak orang Jawa yang telah memeluk Islam. Agama yang dibawa oleh para Sayyid dari Hadramaud tersebut di tangan orang Jawa menjelma menjadi keindahan yang luar biasa. Islam, di tangan orang Jawa menjelma jadi puncak seni dan kebudayaan. Ajaran agama islam bercampur dengan kepercayaan orang Jawa( sebagian yakin hindu kejawen) yang mengakar kuat sebelum kedatang Islam. Simuh dalam Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, mengistilahkan pertemuan dia kebudayaan ini sebagai kecenderungan yang bersifat mistik yang diyakini pribumi, khususnya orang Jawa yang tinggal di daerah pedalaman.

Kecenderungan mistik orang Jawa pada awal kedatangan Belanda kemudian berkembang pada abad 17 dan 18 setidaknya memuat tiga ajaran. Endraswara melalui Mistik Kejawen Sinkritisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa menuliskan tiga pokok kepercayaan orang Jawa sebagai hasil pertemuan dua kebudayaan tersebut.

Tiga hal ini, yaitu Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti, dan Mamayu Hayuning Bayana, merupakan falsafah hidup yang dipercaya menjadi pedoman umum bagi orang Jawa agar bisa menjaga keseimbangan batiniah seseorang.

Sangkan parning dumadi merupakan ajaran mistik Jawa dimana setiap manusia harus memahami tentang asal usul kehidupan serta meyakini keberadaan sang pencipta. Manusia harus selalu bersyukur dengan cara mengerjakan kebajikan terhadap orang lain dan kebajikan kepada dirinya sendiri. Manusia yang meyakini keberadaan sang pencipta dan pandai bersyukur kepada-Nya pasti memiliki hati yang mulia dan berperilaku dengan baik. Hal ini disebabkan adanya keyakinan bahwa manusia akan kembali ke pangkuan Tuhan dan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya semasa hidup di dunia.

Manungaling kawula Gusti merupakan ajaran khas orang Jawa yang mengajarkan bahwa manusia dapat bersatu dengan Sang pencipta apabila mampu mengendalikan hawa nafsu dengan cara menggunakan seluruh anggota tubuh yang dimiliki secara benar dan jujur. Sedangkan memayu hayuning bawana merupakan ajaran orang Jawa agar menjaga kelestarian alam, menjaga kedamaian hidup dengan sesama, menjaga keseimbangan, serta meninggalkan perbuatan tercela.

Facebook Twitter Share on Google+