Home » Jogjapedia » “Penerbit Rumahan” Jogja vs Orde Baru di Tahun 90an

Jogjapedia

“Penerbit Rumahan” Jogja vs Orde Baru di Tahun 90an



Istimewa

Istilah “penerbit rumahan”, cukup populer di Jogjakarta pada era 1990-an. Penerbit rumahan ini, merupakan penerbit alternatif, yang kala itu mulai banyak bermunculan di Jogjakarta. Mereka memproduksi pembuatan buku di rumah-rumah yang berada dalam gang-gang sempit di Jogjakarta.

Meski kecil dan tidak sebanding dengan penerbitan raksasa, penerbit buku rumahan ini menjadi bagian penting dalam perkembangan intelektual mahasiswa di Jogjakarta pada era tersebut. Bukan rahasia lagi jika Orba, ketika berkuasa memproduksi wacana kuasanya melalui sejumlah buku. Dan pada era 90an, produksi wacana tersebut mendapat tandingan dari penerbit kecil yang berada di gang-gang sempit tersebut.

Adanya perlawanan kuasa ini tentunya tidak mengherankan. Sebab, kata Kuntowijoyo di manapun ada kekuasaan besar di suatu tempat maka bakal ada pula kuasa tandingan. Dalam hal ini produksi wacana keteraturan dan ketundukan yang diolah Orba melalui buku-buku mendapat tandingan dari penerbit rumahan di Jogja, dengan proses produksi yang sama: operasi wacana via buku.

Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit rumahan di era itu merupakan buku-buku yang berisi wacana kritis sebagai tandingan pengoperasian kuasa pihak Orba. Seperti yang dijelaskan Koskow dalam Merupa Buku, bahwa di era 90an, penerbitan buku di Jogjakarta banyak berisi wacana kritis terhadap kenyataan sosial. Buku-buku kritis seperti itu, tulisnya lagi, menjadi sangat penting. Karena melalui buku pembaca dapat diajak membaca dan menilai kenyataan sosial, politik, dan budaya.

Para penerbit rumahan di Jogja kala itu bisa dibilang nekad. Sebab, mereka berani menerbitkan buku berwacana kritis dan cenderung kekirian dengan resiko menghadapi moncong senapan. Namun bukan berarti bahasa yang terdapat dalam buku-buku tersebut vulgar dan apa adanya. Ada permainan bahasa dan makna dalam isi buku. Pada titik ini, para penerbit rumahan itu menyadari sesuatu, bahwa, kritik (secara simbolik) tidak hanya tertuang melalui bahasa atau isi buku, namun juga di sampul buku.

Sebagaimana yang dikemukakan pemilik penerbit Bentang kala itu, Buldanul Khuri. Ia menjelaskan bahwa penulis dan perupa pada dasarnya sama-sama ingin mengungkapkan sesuatu, hanya saja berbeda pada pilihan jenis bahasa yang digunakan. Berangakat dari anggapan inilah, para penerbit buku kala itu mulai menganggap penting kekuatan sampul buku.

Sehingga tidak jarang sebuah penggarapan sampul buku melibatkan seorang seniman terkenal. Adapun deretan nama: Agung Kurniawan, Agus Suwage, Mella Jaarsma, Lucia Hartini, Agus Kamal, dll. Mereka merupakan seniman yang aktif dalam pembuatan sampul buku di Jogjakarta kala itu.

Sampul buku di Jogjkarta memiliki dua ciri yang khasm yaitu gaya nglawasi dan pendekatan seni dalam desain sampul buku. Paling tidak seperti itu yang di jelaskan oleh Koskow, dan dua ciri tersebutlah yang menjadi kekuaatan penerbitan alternatif kala itu. Mungkin juga sampai saat ini.

Facebook Twitter Share on Google+