Jogjapedia
Batik di Jogja: Dari Petani Hingga Perang Dunia I
Batik adalah kebudayaan yang amat membanggakan dari Pulau Jawa. Ia punya sejarah panjang yang tak berhubungan dengan hampir seluruh aspek di Jawa, mulai dari politik hingga ekonomi. Batik, sebagaimana dituliskan Amri Yahya, dalam Sejarah Perkembangan Seni Lukis Batik Indonesia diyakini lahir dari kalangan petani di masa kerajaan Mataram Kuno. Produk awal itu kemudian membikin pihak kerajaan tertarik hingga akhirnya termanifestasi sebagai pengabdian pada raja.
Masuknya batik ke Kraton kemudian menjadi jauh lebih indah. Teknik pembuatan dan pewarnaannya jauh lebih berkualitas dari para petani yang menemukannya. Lambat laun batik pun menjadi bagian pakaian kebesaran anggota kerajaan sekaligus menjadi penanda adanya perbedaan sosial dari si pemakai.
Batik sendiri mulai diperdagangkan di Jogjakarta sejak tahun 1800. Thomas Raffles melalui History of Java mencatat bahwa pada tahun itu orang Jawa sudah mulai berdagang batik.Konsumen utama dari batik yang diperdagangkan kala itu adalah warga Eropa di Jogjakarta dan sekitarnya hingga ke Batavia.
Keterkenalan batik adalah anugerah sekaligus bencana. Anugerah karena mulai banyaknya perajin batik di luar Kraton, namun sekaligus menjadi bencana karena banyaknya pesanan membuat perajin batik mulai meninggalkan teknik pelukisan dan menggantinya dengan cap. Mulai dipakainya cap ini juga menurunkan penjualan batik tulis yang dikerjakan para abdi dalem.
Pada 1892 industri batik makin memuncaki kepopuleran. Tidak hanya di sejumlah daerah di Jawa, termasik Jogja namun juga sampai ke Benua Eropa. Bahkan sejumlah negara di Eropa mulai mendirikan industri batik dan menjualnya ke negara-negara Asia. Sebuah laporan dari keresidenan Belanda yang dicatat oleh S.Koperberg dalam De Javaansche Batikindustrie menemukan bahwa batik Eropa mulai masuk ke Jawa dan dikhawatirkan akan mengubah pandangan orang Jawa terhadap batik itu sendiri, dari seni lukis menjadi sekedar industri biasa.
Namun Perang Dunia I menghapus kekhawatiran itu. Eropa makin sedikit mengirimkan batik imitasinya ke Pulau Jawa. Meski demikian PD I juga menimbulkan masalah baru bagi perajin atau pengusaha batik di Jawa. Perang membuat lalu lintas perdagangan dunia terhambat. Kain dari Cina dan Arab yang sering digunakan sebagai bahan untuk membatik makin jarang ditemukan. Dampaknya adalah lesunya pembuatan dan perdagangan batik di Jogjakarta. Bahkan sejumlah perusahaan kecil terpaksa gulung tikar.