Aborsi
Peraturan Pemerintah Soal Aborsi Masih Perlu Dikritisi
Munculnya peraturan pemerintah No.62 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, khusunya pasal 31 terkait dengan aborsi menimbulkan sejumlah kritik. Salah satunya datang dari aktivis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jogjakarta, Arsih Suharsi.
Arsih mengatakan pada dasarnya peraturan pemerintah tentang kesehatan reproduksi ini merupakan terobosan baru yang sudah ditunggu sejak tahun 2009. Meski demikian masih ada hal yang perlu dikritisi dalam peraturan pemerintah tersebut.
“Pada dasar kami menyambut baik, kita sudah tunggu sejak tahun 2009 dan baru ini ada. Tapi masih ada yang perlu dikritisi yaitu soal aborsi,” kata Arsih yang kini menjabat sebagai koordinator program pusat studi seksualitas PKBI ketika ditemui di kantornya, Kamis (14/8).
Dalam pasal yang menyangkut aborsi, menurut Arsih ada dua syarat boleh dilakukan yaitu indikasi kedarurat medis dan kehamilan akibat perkosaan. Kedarurat medis yang dimaksud adalah janin yang dikandung berpotensi membahayakan keselamatan ibu dan janin, sementara untuk korban perkosaan boleh diaborsi jika usia kandungan dibawah 40 hari.
“Kalau yang korban perkosaan sudah jelas, tapi itu bermasalah soal usia kandungan, dalam PP itu batasnya 40 hari saja, itu tidak rasional. Jarang sekali ada perempuan yang tahu hamil sebelum usia 40 hari,” jelasnya. Harusnya diperpanjang, kalau kami di PKBI itu 10 minggu. Coba bayangkan perempuan diperkosa, belum tentu langsung lapor, bisa sebulan kemudian baru lapor, dan juga pasti mengalami trauma, apakah hamil atau tidak, belum terpikir,” ujar Arsih.