Jogjapedia
Demi Rakyat, Sultan HB IX Melawan Tradisi Kraton
Kraton Jogjakarta adalah pusat tradisi dan kebudayaan sejak dulu.Namun kebudayaa dan tradisi yang dikelilingi dinding tebal itu pernah dijebol oleh Sultan Hamengkubuwono IX ketika masa pendudukan Jepang di. Sultan tidak lagi, bahkan melarang adanya perayaan tradisi yang dulunya diperingati secara besar-besaran dan mewah. Ia, bersama Pakualam keluar dari binger kemewahan Kraton dan mulai berinteraksi dengan rakyat.
Kisah ini bermula ketika Patih Sutan, Pangeran Dhanoeredjo VIII meninggal dunia. Sultan kala itu memutuskan tidak mau mengangkat patih baru. Hal ini, sebagaimana dituliskan Selo Sumardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakartamenjadi kebijakan baru yang merugikan para bangsawan. Sebab dengan digabungkannya jabatan patih dengan Sultan, tak ada lagi bangsawan yang mampu memengaruhi keputusan Sultan. Selain itu Kraton juga kehilangan fungsi sebagai perantara dengan pemerintahan luar karena semua sudah diurus Sultan ketika merangkap jabatan.
Sultan pun mulai menjalankan fungsinya sebagai patih. Tiap hari ia keluar masuk kepatihan dan bertemu dengan sejumlah orang, terutama pedagang. Pendudukan Jepang membuat pertumbuhan ekonomi di Jogja macet. Pedagang besar hingga kecil mengalami kerugian. Namun, dengan merangkapnya Sultan menjadi patih, masalah-masalah ekonomi langsung diselesaikan. Sultan juga jadi tahu kesulitan rakyat dengan mata kepalanya sendiri.
Di masa sulit ini Sultan juga memerintahkan agar tidak ada lagi pengangkatan jabatan untuk bangsawan Kraton. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan pejabat yang akan berdampak pada penghematan anggaran. Selanjutya, Sultan juga mendobrak perayaan ritus yang menghabiskan banyak biaya. Upacara arau ritus yang kerap dilangsungkan dengan gegap gempita diperintahkan untuk dirayakan sesederhana mungkin.
Perintah ini diucapkan Sultan karena ia tak mau lagi Kraton hanya jadi media unjuk pamer pemerintah luar, dalam hal ini Jepang pada rakyat. Pada masa pendudukan Belanda, upacara atau ritus Kraton memang kerap dijadikan media untuk pamer kekayaan dan kuasa dari pemerintah kolonial. Perintah ini mengakhiri tradisi itu.
Upacara grebeg misalnya, tidak lagi dilangsungkan dengan megah. Inti upacara tersebut memang tidak ditinggalkan. Masih ada doa-doa untuk Tuhan beserta sesaji, namun tak lagi semarak. Sebaliknya, Sultan melalui upacara grebeg tiga kali setahun mulai menyatukan diri dengan rakyatnya. Begitu juag dengan Kraton yang tidak lagi hanya boleh dikunjungi bangsawan atau pejabat tinggi di luar Kraton. Orang dari pedesaan, pinggiran, dan seluruh rakyat boleh berkunjung dan berinteraksi dengan Sultan tanpa dipungut bayaran dan diperlalukan sama dengan Bangsawan.