Home » Jogjapedia » Pesantren Krapyak: Awal Mula dan Tradisi yang Terpelihara

Jogjapedia

Pesantren Krapyak: Awal Mula dan Tradisi yang Terpelihara



Dokumen Kangenpondok

Paska revolusi, muncul pandangan Weltanschauung atau pandangan hidup sekuler warga Jogjakarta. Pandangan ini dinilai musuh bagi orang-orang pesantren. Dituliskan Selo Sumardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta hal yang kemudian membuat para Kyai di pesantren khawatir adalah karena pandangan ini menafsirkan masalah sosial atau perseorangan dengan nalar yang bersifat duniawi. Namun pandangan ini tidak berlangsung lama, banyak pesantren yang melawan gejala ini.

Namun di Jogjakarta sendiri gejala ini tidak serta merta berakhir. Adalah Abdul Qodir, Affandi, dan Ali Maksum, tiga Kyai muda dari NU yang kemudian mengakomodasinya dalam bentuk pendidikan di pesantren yang didirikan di Krapyak. Lewat saluran politik, tulis Selo Sumardjan, mereka berhasil mendapatkan subsidi dari pemerintah lalu mendirikan pesantren modern dengan asrama para santri.

Ujian masuknya menggunakan bahasa arab namun tidak meninggalkan tradisi lama pesantren: tak seorang pun yang ditolak. Adanya ujian masuk juga tidak bermaksud menyaring santri, namun untuk memetakan sejauh mana pengetahuan santri tentang bahasa arab. Sementara itu untuk pelajaran sekuler sendiri seperti ilmu bumi dan lain sebagainya dimasukkan dalam kurikulum dan diajarkan oleh guru dari luar pesantren.

Meski modern, sejumlah pesantren di Krapyak tidak menghilangkan tradisi lama tentang pengajaran dari kitab-kitab Arab lama. Penafsiran atas kitab juga masih dilakukan dengan cara lama. Namun ada pengubahan kecil, yaitu sejumlah santri diperbolehkan menempuh pendidikan di luar pesantren di pagi hari.

Facebook Twitter Share on Google+